Sebuah Pengantar Untuk Ilmu (Sosial): Faktisitas Manajemen, Mimpi, dan Manusia

Isyraqi Ramadhan
22 min readDec 12, 2020

--

Prolog

Berkutat selama tiga setengah tahun mendalami ilmu sosial (dengan mengambil studi ilmu hubungan internasional, dan berusaha merangsek masuk mendalami berbagai ilmu-pengetahuan sosial dengan ikut diskusi, membaca dan berdebat jalanan, duduk di kelas departemen semacam ekonomi, antropologi, politik, filsafat, sosiologi, komunikasi, kriminologi, dan berbagai macam pengetahuan lainnya beserta variabel-variabel studinya yang memiliki nama menarik namun sebenarnya menjengkelkan), beserta observasi sosial yang saya sudah lakukan bertahun-tahun lamanya; saya kira cukup untuk menuangkannya ke dalam satu essai pengantar pendek (sekaligus essai ini akan dimanfaatkan untuk kepetingan saya memenuhi portofolio riset mata kuliah Ekonomi Internasional DIHI UGM 2020). Essai ini bermotif ambisius, membuktikan bahwa sebenarnya ada hal yang patut dikuak apapun itu dari intisari ilmu sosial yang dipelajari: langkah manajemen, waktu, serta manusia demi transformasi sosial yang tepat. Ditengah saya baru menyadari bahwa deadline tinggal satu hari lagi mengenai tulisan ini, dengan bentrokannya yang bersamaan janji kegiatan menjadi panelis bidding jabatan politik kampus, mengurus organisasi fakultas sebagai mantan pimpinan diambang umur mahasiswa yang menua, serta tentunya riset ecek-ecek sembari memenuhi nilai kuliah yang diambang cumlaude ini.[1]

Faktisitas Manusia: Anda Mau Jadi Apa dan Bagaimana?[2][3]

Hal menarik lainnya yang saya temukan ketika sedang meriset ilmu sosial secara keseluruhan; yakni mengenai kemampuan manusia untuk dapat meraih suatu yang fatal dan final dengan berbagai keterbatasannya; sesuatu yang melampaui transformasi sebagai pojok pengetahuan dan peradaban, tentunya untuk menjadi seorang pemenang; apapun yang dimenangkannya itu — apakah pemenang dalam konsep homo economicus? Atau sekadar homo ludens? Atau homo beneran? Dengan pertanyaan filosofis: Apakah manusia mampu untuk bisa mencari tahu sesuatu yang final dan fatal (benar-benar final, dan bukan kaleng-kaleng finalnya)? Apakah manusia mampu untuk mencari tahu apa yang ada di luar dirinya dengan melepaskan kemanusiaannya?[4] Apakah kebenaran dalam kerangka otak manusia merupakan sebuah kebenaran? Dan hal-hal lainnya yang sebenarnya berkutat dengan level-level berbeda namun logika yang sama.

Quentin Meillasoux dan kritik Hizkia Yosie terhadapnya mengantarkan dengan baik kepada logika penulisan ini. Dimulai dengan Meillasoux, seorang filsuf kontemporer Prancis yang masih hidup merana sekaligus bahagia.[5] Loncat kata, membaca karyanya yakni After Finitude yang “digantungin” dengan tujuan penyelesaian sesuatu yang final dan fatal dengan solusi: matematika — karena dianggap bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang dapat melakukan hal itu, melakukan pelampauan untuk mencari suatu yang final maupun fatal, melakukan dan menemukan sesuatu yang fatal dan final diluar otak dan kepalanya manusia yang bejat nan jujur. Meillasoux berpendapat, bahwa dengan segala pertentangan serta perdebatan yang ada, memikirkan bagaimana penyelesaian yang ada di luar otak manusia merupakan suatu kemungkinan yang fasih. Bagaimana cara agar manusia bisa sampai terhadap sesuatu yang absolut. Walau dengan pemikiran dari Meillasoux diatas, saya berani mengatakan bahwa saya belum paham final 100%,[6] namun saya lebih menaruh percaya untuk condong dengan meyakini inisiatif matematikanya yang sudah terbantahkan melalui psikoanalisis Jacques Lacan yang dipakai oleh Hizkia Yosie dalam karya ontoantropologi-nya,[7] yang sejauh memakai banyak pembuktian — seingat otak saya (yang semoga masih sehat dan tetap “genit”), pemikiran dari Meillasoux telah dibantah memakai pemikiran fisika kuantum[8] serta matematika Cantor.[9] Meillasoux terjebak kedalam ke onto-antropologi atau ke-ontologi-annya sebagai manusia untuk membuktikan sesuatu yang ada di luar manusia itu apa.[10]

Lalu, sebagai bagian yang terpengaruh oleh massing society mau-tak-mau, saya selalu memakai saran yang digunakan oleh orang-orang tua di kampus saya, yakni membaca mengenai sesuatu dengan membaca bacaan sekundernya dahulu. Tentunya segala rasionalitas dilontarkan karena hal tersebut berpengaruh dengan pemahaman pemikiran-pemikiran rumit agar terurai lebih mudah. Akan tetapi, tentunya hal ini juga dilakukan bersama semangat yang dilemparkan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari. Serta juga kesadaran bahwa kemungkinan radikal ontologi ataupun cara manusia mencari tahu pengetahuan serta solusinya sendiri apapun dan bagaimanapun juga tetap tak bisa solutif dan elaboratif. Bahwa pura-pura tahu akan suatu hal namun pada aslinya ketidaktahuan melapisi dirimu itu adalah sebuah tingkah idiot,[11] Pengantaran terhadap suatu langkah idiot itu berpotensi ada di dalam pelajaran-pelajaran ilmu,[12] karena dengan perdebatan kedua terma serta objek, subjek, abjek, ataupun jek-jek lainnya, apakah hal tersebut benar-benar relevan dan berguna? Atau, bentuk ke-idiot-an tersebut dapat terjadi ke dalam kepenulisan saya ini, pula dengan kepenulisan yang dibuat teman-teman terhadap suatu hal aneh nan absurd yang ada di dunia.

Apa yang menjadi dinamika antara Meillasoux dan Hizkia merupakan suatu langkah keluar dari ke-idiotan tersebut, tidak hanya sekadar mengiktui kelas demi nilai, ada transformasi yang sebenarnya patut menjadi contoh. Hal baik yang dapat diambil mereka melakukan sesuatu yang radikal dan memperdebatkan sesuatu masalah yang memang patut dibicarakan. Sementara, ada kendala dari ilmu pengetahuan (terutama dalam hal ini ilmu sosial) untuk melakukan suatu transformasi dari kebekuan mengenai intepretasi maupun penyelesaian permasalahan yang ada di dunia. Sejauh ini, saya kira semua ini miskin akan proposal politik, proposal yang melakukan reversabilitas ditengah everythingsm.[13] Proposal yang memanfaatkan berbagai isu, pengetahuan, yang dikontrol dan mengakomodasi keterbatasan waktu.

Proposal yang dapat memastikan dengan berbagai kemungkinan, kendala, tantangan, ancaman, kalkulasi, target diplomasi dan negosiasi, manajemen risiko, aktor-aktor yang berperan, dan berbagai hitung-hitungan lain yang berpikir berkali-kali lipat langkah kedepan. Ribuan bahkan jutaan sekolah, tenaga didik, pembelajaran, berkutan dan kejar-kejaran untuk dapat melakukan langkah tersebut. Namun, mengapa dunia juga tidak baik-baik saja hingga sekarang? Mengapa kita tetab bebal? Tetap merindu masa lalu sembari merusak masa depan yang entah apa? Ilmu sosial seperti yang saya katakan dalam sitasi awal; sebenarnya menemukan kendala dimana ia terkotak-kotakkan, terfragmentasi, dan segmentasi. Ada yang belajar ekonomi, namun tak berlajar sosiologi ataupun pengetahuan lainnya — dan ini terjadi kepada seluruh manusia yang faktis. Dengan tesis ini, berarti dapat diambil proposal politik semisal: Kita selesaikan pengotakkan berbagai ilmu ini dengan lingkup kecil di FISIPOL, lembaga pengetahuan yang sebenarnya memproduksi penyekatan ilmu pengetahuan itu secara langsung, melalui penyelesaian suatu masalah melalui organisasi/aliansi dengan jangwa waktu semisal berapa waktu, dengan aturan serta regulasi, blablabla.

Lantas, dengan berbagai tantangan yang ada di depan mata. Mimpi-mimpi manusia yang sebenanrya dipengaruhi oleh eksternal serta kemungkinan yang dihadapi, apakah manusia dengan ambisinya, jadi diplomat, jadi ekonom, jadi politisi, jadi peneliti, hal-hal ambisus lainnya, tahu bahwa apa yang dia kejar itu apa dan bagaimana? Apa dan bagaimana bahwa perannya sendiri sebenarnya biasa-biasa saja, bahkan jika terkotakkan seperti ini condong bahaya?

Secuil Refleksi

Anak HI belajar sesuatu yang sangatlah luas, belajar terlalu ndakik-ndakik mengenai mendefiniskan fenomena ekonomi politik internasional, konflik etnis di Afrika, HAM, gencatan senjata di Oseania antar Ikan Paus, Oligarki salju di Islandia, apapun itu. Sangat disayangkan jika tak ada transformasi yang dihasilkan dari kekayaan pembelajaran HI terhada suatu hal yang ada didepan mata. Walau kritik saya belajar HI benar-benar mempelajari permukaan saja, jika tidak dikembangkan. Saya sebagai individu yang sejauh ini memliki pengalaman pendidikan di bidang ilmu hubungan internasional sering kali menjadi remeh: 1. Ilmu pengetahuan ini sangatlah luas, kau bisa serba tahu untuk menjadi yang paling pintar: baca berita sana-sini, download BBC, CNN, dan lainnya, baca jurnal luar negeri, memiliki priviledge agar bisa menikmati hal-hal itu. Namun, seluruh berita di dunia tersebut sebenarnya gunanya apa selain hanya diketahui dan diolah sebagai sebuah nilai mata kuliah? Sadar tidak bahwa tidak semua orang memiliki priviledge seperti diri kita?

Sama bobroknya ketika saya duduk di beberapa kelas departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) serta Sosiologi UGM.[14] Anak HI harus turun melihat adanya permasalahan mengenai hal ini, jujur. Bobroknya sekat tersebut tergambarkan dengan miskinnya imajinasi perihal dinamika serta fenomena sosial yang terjadi diluar kerangka negara Indonesia. Untuk mengambil contoh dampak buruknya yakni: Menyelesaikan permasalahan sosial dengan tidak elaboratif, semisal bagaimana caranya agar dosen-dosen di perguruan tinggi saling satu berpadu meninggalkan ego antar ilmunya untuk dapat sama-sama menyelesaikan masalah yang ada.[15] Ataupun bagaimana caranya agar anak-anak yang belajar di salah satu bidang pengetahuan tidak mengglorifikasikan pengetahuannya lebih jauh karena demi segepok uang bekas ongkos ia menuntut ilmu pengetahuan yang begitu mencekik mahalnya?

Saya akan coba mengelaborasikan hal ini dengan cukup panjang. Suatu saat, di kelas Studi Kepemudaan Departemen Sosiologi tahun 2019, topik yang dibahas yakni mengenai gerakan sosial yang terjadi di Hong Kong. Peserta kelas terdiam karena imajinasi, mengikuti suatu isu, serta patahan hal-hal lainnya saling berpadu satu sama lain sehingga membuat mereka malu atau entah tak tahu perihal bagaimana proses gerakan sosial yang sangat terkait dengan masalah kepemudaan tersebut terjadi di belahan dunia lain. Kemudian, sang dosen memberikan kerja kelompok bagaimana caranya agar membentuk sebuah gerakan sosial di Negara Singapura, secara langsung di kelas.

Peserta kelas bahkan tak tahu bentuk pemerinatahan Singapura bagaimana, pembentukan historis, etnisitas, kualitas dan berbagai embel sumber daya manusia yang sangat terkait dengan ekonomi-politik yang berkaitan dengan masyarakat Singapura yang multietnis namun sangat berpatok kepada kemajuan ekonomi. Entah menjual kehebatan diri, hari itu saya menjadi penyelamat kelas tersebut karena ada pengalaman pendidikan HI saya. Saya tak dapat membayangkan bagaimana jika yang dilontarkan negara di lain wilayah nan jauh disana macam Andorra atau Lesotho, mungkin anak HI saja tidak tahu.

Perdebatan lainnya saya rasakan dan cukup kasihan ketika berada di kelas Agama dan Tata Politik DPP 2019. Dosen yang tak pernah masuk kelas itu, ketika masuk kelas kemudian melemparkan pertanyaan mengenai lebih urgensial negara atau agama di dalam suatu tatanan masyarakat. Tentunya pertanyaan bisa ditarik kesana-kemari sesuai konteks sang penjawab. Namun, saya sendiri begitu frustasi dan mengeluh dengan perdebatan yang benar-benar terkukung dengan politik Indonesia, bahkan sangat ter-reduksi mengenai Jokowi-Prabowo, atau bahkan Cebong-Kampret. Tak ada imajinasi bentuk negara dan alternatif konteks di bagian wilayah lain sebagai bentuk pemerintahan maupun tidak ada yang memerintah.

Contoh terakhir, mungkin perihal menurunkan kualitas imajinatif studi Ilmu Hubungan Internasional agar dapat terkontestualisasi kepada kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mata kuliah Ekonomi Internasional ini. Bagaimana caranya agar kita sebagai manusia dan lingkungan sekitar dapat mengetahui dampak kapitalisme yang begitu menggerogoti kehidupan manusia? Jika kapitalisme dengan jaringan globalnya benar-benar meenjerat, bagaimana taktik dan strategi keluar dari hal itu? Bagaimana caranya menyadarkan bahwa uang bukanlah tuhan yang patut disembah walau uang merupakan sesuatu sumber kebahagiaan? Bagaimana caranya agar teori Adam Smith mengenai egoisitas manusia sebagai Homo Economicus dimasukkan kedalam perspektif Corporate Social Responsibility (CSR)?

Dibunuh Ideologi

“Every Ideology is Contrary with Human Psychology”

-Albert Camus

Sekarang, dengan kembali masuk ke dalam pembelajaran ilmu sosial khususnya karena saya juga mengantarkan ini kepada hasil riset saya mengenai Ekonomi Internasional, saya kira Albert Camus dengan singkat menjelaskan dengan baik tantangan yang terjadi kepada manusia-manusia yang bermimpi. Kita bisa lihat, di berbagai penjuru dunia, orang-orang terpelejarar berpegangf teguh kepada ideologi mereka masing-masing: Kiri-kanan mentok, moderat, anarko, Pancasila harga mati, khilafah harga jiun, Indonesia 101,[16] dsb. Orang-orang saling berlomba dengan berpijak kepada ideologi modernnya, yang terbukti gagal untuk bisa melahirkan kemaslahatan umat yang hakiki. Ilmu sosial (dalam hal ini yang modern), untuk saling berpegang teguh kepada cara politik, ekonomi, sosial yang patut diimplementasikan kepada lingkungan maupun masyarakatnya. Namun, satu hal yang sekarang pasti: Ekonomi Kapitalisme sedang menang! Dan ini sebuah fakta yang terpampang.

Tentunya, kalangan-kalangan kiri yang bergerak demi rakyat tak mau kalah dengan kemenangan kapitalisme yang dinikmati oleh kita semua. Buruh-buruh ditindas, petani yang faktor produksinya direbut karena penggusuran demi kapitalisme industri, kelas menengah ngehek yang disebabkan oleh begitu nikmatnya hidup menjadi buruh yang digaji tinggi, bisa makan mekdi dan kiefsi sesuka hati, sehabis demonstrasi yang tak lupa update di instastory, tukang becak yang dapat menonton drama korea melalui hape-nya, aktivis-aktivis yang memakai produk industrialisasi kapital dan berbagai absurditas lainnya.

Orang-orang berhaluan ideologi kiri dengan asyiknya mengintepretasikan dunia yang benar-benar jahat, meriset kebakaran hutan yang terjadi, gerakan sosial yang gagal, oligarki politik yang menguasai negeri. Hal ini sembari orang-orang kanan terus menindas rakyat yang katanya tertindas, mengeruk kekayaan, keuntungan, demi perut pribadi. Orang-orang berlomba egois demi pengukuhan ideologi-nya masing-masing. Ada yang berlindung kepada negara; ada yang berlindun kepada agama. Lantas, bagaimanakah orang-orang kiri dapat melakukan reversabilitas yang jitu, memberhentikan roda ekonomidan produksi orang-orang kanan yang sekarang menjadi pemenang, ditengah konsolidasi rakyat yang tak kunjung menemukan titik cerah dan memuakkan?

Saya menambahkan analisis observasi sosial; sependek kepada kerja yang dilakukan orang tua saya. Ia sebagai seorang pegawai BUMN, seorang pegawai ataupun individu yang menggantungkan hidup keluarganya kepada negara. Di dalam kebijakan kantornya, semua pegawai harus memenuhi rasa, raga, karsa, dsb.[17] Ayah saya tidak tahu bahwa ia dieksploitasi. Walau ada tuntutan untuk hidup, ayah saya mungki adalah seorang kelas menengah ngehek.[18] Sementara sebagian besar orang-orang kiri masih mengeluh mengenai kerja-kerja buruh yang di ekspolitasi (saya tidak memungkiri bahwa mereka memang diekspolitasi, namun bagaimana caranya melepaskan keespolitasiannya itu ketika mahasiswa tidak mengenal buruhnya, petaninya, hanya teriak-teriak dijalan berlindung dalam embel-embel demokrasi?)

Ada hal menarik yang saya ingin sampaikan utuk menambah bagian ini, tergabung kepada lingkar diskusi yang beraliran kiri juga sama memuakkanya; dan saya pernah tergabung kepada lembaga itu. Pembelajaran mengenai bagaimana ekonomi politik berjalan dan kejinya sistem kapitalisme benar-benar dikuak di dalam lembaga tersebut. Saya sendiri antusias, dikarenakan hal ini dapat dikatakan kering bagi mahasiswa S1. Diluar usaha organisasi tersebut, hal absurd yang saya rasakan pertama diskusi internal dan eksternal yang dilakukan sangatlah kontras. Diskusi internal yang saya ikuti hingga pandemi menyerang dan saya menyerah untuk mengiktui segala realitas yang ada dengan daring, dilaksanakan dengan metode kiri mentok yang sangat mambangkitkan gairah perjuangan, analisis kelas (yang sebenarnya saya nilai ada kekurangan mengenai analisis identitas, namun bukannya wajar hal ini ada di lembaga tersebut) — merah — namun ketika diskusi dilaksanakan secara eksternal, entah mengapa warna yang dibawa dari merah tersebut lambat laun luntur.

Jika ditarik, sebenarnya dalam lingkaran diskusi tersebut bisa dielaborasi dan di wrap-up apa hubungan genealogis antara demokrasi, gender, HAM, lingkungan, apapun itu yang menjadi fenomena pasca-modern.[19] Namun, dengan mekanisme manajemen yang sebenarnya baru-baru ini saya pertanyakan, bagaimanakah bisa mengundang pembicara yang bisa jadi juga tidak berhaluan kiri? Ataupun, mengapa jika memang sulit menemukan pembicara yang berhaluan kiri Marx, setidaknya ada bridging yang dilakukan lebih radikal dan jauh agar tujuan yang ingin dicapai masuk ke dalam persepsi khalayak yang mengiktui diskusi eksternal mereka.[20]

Saya tak ingin lebih jauh untuk membahas organisasi ini, pendek kata: bahkan organisasi ini (mungkin juga ketidaktahuan saya untuk terjun lebih dalam ke palung sentral organisasi ini), belum bisa untuk menjalin relasi dengan buruh-buruh tereksploitasi secara elaboratif di lingkup Yogyakarta, belum bisa untuk berangkat dengan jujur hati membereskan lintas depatemen di satu fakultas mereka yang penuh akan proyek jutaan dan milyaran, yang sangat berkelindan dengan proses relasi kuasa bahkan oligarki, belum bisa untuk benar-benar tahu apakah dana organisasi mereka bebas dari dana oligarki atau benar-benar bisa clear untuk melakukan reversabilitas tersebut, bahkan belum bisa untuk membereskan mata-mata kuliah yang becorak kapital di fakultas ini. Lantas, jika belum atau bahkan tidak bisa, apakah itu bentuk masturbasi intelektual?[21]

Kemudian, Marx, sependek pembacaan saya, tidak menganalisis bahwa kerja-kerja di era pasca-modern seperti ini kerja dengan lapisan teknologi yang aneh, timbulnya prekariat, timbulnya orang-orang yang pergi ke-institusi pendidikan agar nantinya pasca lulus dari universitas lalu bekerja kepada start-up atau perusahaan besar dan berharap untuk di eksploitasi. Tak masalah untuk dieksploitasi. Orang-orang di era pasca-modern sekarang, bahkan banyak yang ingin dieskploitasi bahkan mencari dan suka dengan ekspolitasi tersebut. Ekspolitasi yang menyenangkan. Tentunya, hal ini diakibatkan iklan, pola hidup kapital yang telah membudaya, serta berbagai simulacrum dan hyperreality![22]

Berkaitan dengan masalah ini, kesimpulan saya sejauh ini adalah. Orang-orang pada akhirnya dibunuh oleh ideologinya yang sudah mati. Ideologi, pada dasarnya, semakin luntur dengan masing-masing pertukaran cara pemakaiannya. Semisal, orang-orang kapital melebarkan sayap perjuangan dengan implementasi CSR, namun bukan untuk masyarakat — agar bisa menyebarluaskan pengenalan organisasi atau institusi mereka kepada masyarakat, tanpa menyelesaikan permasalahan yang menjadi akar dan sebenarnya sudah disampaikan di dalam ideologi.[23] Orang-orang, akibat ideologi, lebih memusingkan bagaimana agar ideologinya semakin tegak, agamanya semakin tegak, negaranya semakin kuat, tanpa melihat dasar dari pengadaan sistem agama dan negara seperti apa, tanpa melihat manusia dari esensi dari segala sistem memiliki logika apa saja di dalam ketubuhannya, di dalam masyarakat kecilnya, yang direpresi leh kehadiran negara yang ada dalam lingkup internasional. Atau, bahkan jangan-jangan, memang manusia tidak bisa berpegang teguh terhadap ideologi, secara 100%, dengan jujur?

Hanya Faktisitas yang (Sejauh Ini) Absolut

Dengan keterbatasan pengandaian beserta observasi yang saya lakukan diatas, ada hal lain yang ingin saya sampaikan. Dengan ideologi yang dikatakan kontra dengan psikologi manusia, dengan skeptisisme kemampuan manusia untuk bisa me-manage hal-hal besar untuk dapat berdampak kepada peradaban, tidak sekadar datang dengan picisan mimpi-mimpinya. Dalam riset antropologi saya,[24] manusia juga mengalami dilematis atau ketidakmampuan untuk mencapai suatu ke-absolutan; kecuali sebuah faktisitas. Faktisitas sendiri merupakan sebuah kondisi fakta antara benar-salah, sakral-profan, maskulin-feminin, rasional-hasrat, apapun itu yang bertentangan namun sebenarnya saling melengkapi. Manusia ada dan tiada bersama ideologinya, bersama apa yang ia percaya, bersama apa yang ia hidupi. Ke-absolutan itu sebenarnya merupakan hal yang menjadi filosofi dasar manusia hidup: Bahwa manusia benar-benar serba setengah-setengah! Apalagi ditambah dengan kondisi sosial sekarang yang acakadul dan amburadul, makin-makin jadilah manusia-manusia sekarang. Ideologi yang kau ataupun penuh akan kepercayaan serta mimpi-mimpi sebenarnya apapun bentuknya akan bertentangan dengan kemampuan manusia itu sendiri.

Ada satu pertanyaan filosofis yang saya suka untuk mengandaikan pertanyaan ini: Saat yang lalu, seorang anggota di suatu organisasi tiba-tiba menghilang tidak ada kabar, pekerjaanya dilupakan dan ia tidak bisa dikabar. Lantas, teman-temannya melakukan diskusi empat mana untuk menanyakan kemana manusia itu. Salah satu orang mengatakan bahwa ia capek, lelah, mungkin ingin beristirahat. Namanya juga manusia. Pertanyaannya adalah, mengapa suatu kelemahan, kehilangan, ketidakkuatan, digolongkan sebagai manusia? Padahal, semisal contoh saya yang berusaha mebuat tulisan ini dan kemudian tulisan ini menjadi viral dan berguna, ataupun sosok manusia yang berprestasi, juara best paper sana-sini, walau entah berdampak ataupun tidak kertas yang ia buang-buang tersebut, dicorakkan sebagai suatu buah keberhasilan, tidak ada yang komentar: Ah, iya berprestasi, namanya juga manusia?

Manusia, apapun kodratnya, secara logika maupun logika dialektis yang sudah tidak Hegelian lagi, tidak master and slave lagi, hidup dengan penuh kondisi paradoks yang dimiliki masing-masing bentuknya, sistemnya, budayanya, seksnya, gendernya, etnisnya, apalah itu semuanya. Semakin kaya pengetahuan yang dimiliki manusia agar logikanya juga menjadi beres, ujung-ujungnya juga paradoks yang dihasilkan. Logika matematis cukup mengatakan bahwa hidup ini absurd.[25]

Manusia memang selalu yakin apa dengan yang ia perbuat, hingga keyakinannya itu bisa bertentangan dengan rasionalitas yang ada. David Hume menjelaskan mengenai kausalitas beserta kritik yang datang menghampirinya. Kausalitas selalu ada dan berkaitan mengenai apa yang terjadi. Patahan sejarah yang terjadi, semisal ada gerakan sosial yang terjadi dan kemudian menggulingkan oligarki, menumbangkan penjajah. Sejarah dilakukan oleh orang-orang yang berlaku sebagai pemenang. Namun, tunggu dahulu. Apakah benar kausalitas bahwa penjajah pergi karena diusir pejuang, oligarki tumbang karena perjuangan rakyat; apakah benar-benar logika kausalitas karena A terjadi B tu nyata?[26]

Foucault menyatakan bahwa setiap fenomena sosial memiliki genealogi dan arkeologi.[27][28] Patahan-patahan sejarah bahayanya sering kali menjadi suatu generalisir terhadap sejarah itu sendiri. Padahal, individu yang berjuang untuk melakukan sesuatu sebenarnya memiliki motif-motif yang berbeda. Ambil contoh, sebuah gerakan sosial yang terjadi di Yogyakarta. Motif-motif orang yang datang demonstrasi bisa jadi memiliki kehendak yang berebda, memiliki patahan yang tidak sama. Contoh, ada yang observasi sosial, membela agama, membela negara, intel, benar-benar resah, ikut-ikutan teman, tidak enak jika tidak ikut-ikutan, merepresnetasikan organisasinya yang ikut demo, mencari uang disana dengan jualan, mau berantem dengan polisi, mau keren-kerenan saja, dan berbagai motif-motif absurd lainnya, Hal ini tentunya sebenarnya tak bisa digeneralisir bahwa gerakan sosial tersebut murni perjuangan rakyat. Namun, dengan logika yang sama, kejadian yang ada di dunia, seringkali berlangsung denga logika generalisir seperti ini, kurang atau bahkan tidak mewadahi berbagai motif absurd yang dimiliki manusia dengan berbagai patahannya.

Dampak dan Kaitan terhadap (Ekonomi) Internasional

Siapa yang dapat memahami dunia internasional dengan baik? Disaat institusi pendidikan mengajari manusia agar berpikir sebab-akibat, Sudah begitu berkaitan dengan dana nasional atau internasional yang semakin rumit untuk dipahami? Siapa yang bisa menjamin apakah yang terjadi di dunia internasional benar-benar nyata, bahwa sejarah yang dituliskan hari ini benar-benar suatu keabsahan yang patut dipelajari dan diakui kebenarannya, tanpa menihilkan dan menyingkirkan berbagai fakta serta kenyataan lain yang kalah kuat? Logika ekonomi dengan global supply/value chain yang begitu mengikat berbagai fenomena negara, justru seringkali mengunci bagaimana penyediaan penghidupan di negara-negara yang ada. Logika dan mimpi manusia pergi bekerja untuk mendapatkan sejahtera sudah dihisap keuntungannya oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang tersedia. Manusia bisa apa selain mendefinisikan serta pasrah, ikut alur logika yang terpampang nyata di depan mata untuk sekadar bekerja demi memenuhi kebutuhan diri sendiri, dan terhempas dikunci oleh sesuatu yang ia buat sendiri. Perkembangan zaman dan teknologi yang begitu masif membuat kita harus hidup terpaksa mengglobal, dan sebenarnya dapat dipertanyakan apakah berguna atau tidak hidup mengglobal itu.

Sebagai tambahan. dalam refleksi saya kepada kelas kritik sosial teknologi yang saya ikuti, industri teknologi sekarang benar-benar telah merasuki aspek kehidupan manusia. Akibat hal tersebut, apa yang benar-benar bisa kita perbuat sembari terus dijejali oleh keragaman teknologi. Kerekatan diri kita kepada tetangga atau teman misalkan lebih memilih untuk berjajring terhadap suatu hal yang jauh disana, lebih parah jika tidak mengambil manfaat suatu apa dalam hal yang dia ambil dari luar tersebut. Kerentanan ini sebenarnya dapat ditarik kedalam suatu permasalahan: apakah dengan manusia-manusia yang mempelajari suatu yang abstrak, semisal dunia internasional yang dapat dikatakan “jauh namun dekat” dengan diri kita, dimana tidak bisa dipungkiri dengan keterkaitan global satu sama lain semuanya sangat memengaruhi aspek masyarakat di berbagai tempat, atauun dengan belajar filsafat, misalkan; pengandaian kepada sesuatu yang mungkin saja tidak ada di depan mata, begitu ada di imajinasi tak-otak manusia dan bagaimana menurunkan konsep-konsep itu menjadi sesuatu yang absolut. Ataupun, tidak menutup kemungkinan pengetahuan lain, ekonomi, fisika, biologi, pertanian, perikanan, dan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotakkan itu bisa menjadi konkret, yang berdampak kepada hidup di lingkungan sekitar dan masyarakat, dapat bermanfaat untuk menyelesaikan masalah disekitar, atau jangan smapai berbagai pengetahauan itu malah menimbulkan permasalahan yang lebih jelas? Apakah mansia, denga napa yang ia pantau, yang ia berusaha raih bersama mimpinya, dengan pengaturan otaknya, dapat menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah lain?

Kesimpulan

Apa yang saya tulis disini ialah bentuk dari kontradiktif dan paradoksnya manusia sejak dalam pikirannya, dan usaha untuk mengantarkan kepada paradoks mau dibawa aspek ilmu sosial jika bentuk masyarakat, tatanan, kehidupan, masih pelik seperti ini. Semua yang ada di dalam kepala manusia, sudah paradoks dan absurd. Kita sibuk untuk mengintepretasikan dunia ataupun tidak, hal-hal itu terus bertarung satu sama lain tanpa ada kejelasan esensi serta tujuan yang benar-benar ingin dicapai. Apa yang ingin kita tuju, orang lain tuju, sesama manusia dan sesama otak manusia; akan sangat bertentangan satu sama lain. Dengan ideologi, politik, ekonomi; segala kebaikan yang ingin dicapai manusia dengan berbagai definisinya yang ia miliki akan kontradiktif satu sama lain.

Diluar hal itu, ada satu hal yang patut diketahui: bahwa hidup terus berjalan. Logika ekonomi, ketidakadilan, percintaan, kehidupan, apapun itu akan berjalan dan entah kapan akan mati. Satu inisiasi berupa manajemen dalam praktik proposal politik sebenarnya patut untuk dicanangkan sebagai manusia (atau ilmuwan sosial). Masalahnya, apakah manusia mau untuk bersama serentah mempelemah denyut nadi kehidupan, ambisi sosial-ekonomi-politik, saling diam, dan saling memikirkan antar sesama, satu sama lain?

Epilog

Dengan berlangsungya essai pendek ini, ada tugas-tugas saya yang harus saya lakukan. Pertama adalah melengkapi kebolongan yang ada di dalam riset ini. Lag-lagi kebolongan itu akibat waktu dan manajemen! Nyatanya, dengan berbagai keterbatasan waktu, isu, dan berbagai urusan kehidupan lainnya, bisa membuat saya berleha-leha untuk tidak segera melakukan riset lanjutan. Riset yang sudah saya gambarkan dan pikirkan ialah perihal Inisiatif Ekonomi Koperasi yang sangat berakitan dengan kondisi antropologi dan sosiologi suatu masyarakat. Riset kedua ialah kritik terhadap Postmodernisme, dan logika organisasi dan aliansi, yang sebenarnya patut akan kritik.

Daftar Pustaka

· Deleuze, G and Guattari, F. 1984. Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, terj. R. Hurley, M. Seem dan H. Lane. London: Athlone Press

· Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. Pantheon Books

· Foucault, Michel. 2004. The Archeology of Knowledge. London: Routledge.

· Mardiansya. Robi, 2018. Albert Camus: Subjek Tragedi. Universitas Gadjah Mada

· Polimpung, Hizkia Y. Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif Quentin Meillasoux

· Snijders, Adelbert. 2019. Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan: Kanisius, Yogyakarta

[1] Saya menemukan permasalahan bahwa penyampaian saya dalam suatu bentuk manifes wacana seringkali diberdebatkan: karena bahasanya yang rumit, bahkan digolongkan genit. Padalah, bagi saya menempatkan prioritas tujuan dengan cara apapun merupakan keterserahan individu. Genit dalam arti bahwa subjek yang saya tuju dikatakan akan sulit untuk memahami sesuatu yang saya sampaikan, disisi lain genit mungkin penempatan fokus yang mungkin tidak sinkron dengan diksurus serta tatanan yang ada (misalkan sebagai contoh, tulisan ini mungkin akan dikatakan tulisan filsafat dibandingkan dengan tulisan ekonomi, ataupun hubungan internasional, dan memang iya!). Masalahanya ditambah dengan, jika perdebatan hanya permasalahan definisi serta terma per kata, tentunya hal ini merupakan keterbuangan waktu (dan entah apakah hal tersebut lah yang dapat digolongkan sebagai masturbasi intelektual?) Hal ini sebenarnya bertentangan terhadap semangat serta sesuatu solusi alternatif yang ingin saya lahirkan: Bahwa ilmu pengetahuan (bahkan, tidak hanya ilmu sosial), sudah terlalu dikotak-kotakkan dengan sekat sehingga semuanya tak berjalan elaboratif; bahkan menimbulkan banyak masalah. (lagi-lagi, karena kerumitan keterbatasan itu, saya akan susah untuk menjelaskan mengenai berbagai kerumitan tersebut, saya kira perlu ada “lawan” sepadan yang juga paham dan tak bertingkah banyak akibat ketidaktahuannya.

[2] Saya sudah sering melemparkan hal ini di lingkungan publik saya. Pengangkatan terma manajemen sangat bertentangan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Manajemen perihal apapun sejauh ini merupakan langkah bijaksana walau logika manajemen sendiri seringkali ogah bertemu dengan goncangan dan condong mengagungkan status quo. Namun, betapa buruknya manusia-manusia penuh mimpi dan jargon, ambisi setan, yang tak paham manajemen. Manajemen ini tentunya termasuk mengenai manajemen isu yang begitu banyak serta waktu yang begitu terbatas. Bahkan, manajemen sendiri menjadi suatu terma yang patut diperdebatkan: Apakah kemampuan manajemen manusia berada diambang ke-wajar-an atau ke-rasional-itasan manajemen yang tak terdegradasi?

[3] Kemudian, hal ini juga pertentangan diantara manusia, waktu, manajemen, dan alam. Siapakah manusia yang mampu menyeleseaikan permasalahan di dunia dengan pembagian waktu per hari yang juga harus diisi dengan makan, tidur, seks, hedon, dsb, demi sampai ketahap manusia bijaksana?

[4] Misalkan, apakah manusia tahu bahwa meja yang digolongkan meja oleh manusia memiliki dasar ontologi sendiri bahwa dirinya bukan meja. Atau contoh lain, dalam karyanya Martin Suryajaya, ia menyampaikan bagaimana ego manusia yang termanifestasikan melalui ontologi, epistemologi, serta aksiologinya terhadap suatu permasalahan sosial lingkungan, sebenarnya merupakan embel-embel dari “jahat”nya manusia. Sebagai contoh, manusia sebagai makhluk biologis sebenarnya sama dengan binatang-bintang lainnya. Namun, dengan misi penyelematan kemanusiaan demi melindungi muka bumi, dengan narasi bahwa menyelamatkan dunia merupakan tugas manusia sebagai animal rationale, padahal secara fakta kita dengan menyelamatkan maupun tidak bertentangan dengan mahluk biologis lain; semisal ikan-ikan yang menelan botol plastic;atauoun mikrobiologi yang kita tidak kenal yang merayakan kemenangan ketika kita benar-benar tidak peduli lingkungan.

[5] Saya katakan hal ini karena sesampainya saya meriset pemikirannya, ia masing menjanjikan solusi yang final dan fatal untuk kemaslahatan umat via matematikanya, entah sampai kapan. Saya tidak tahu apakah dirinya sedang menunda hari esok? Dalam maksud, ia tahu bahwa ia sendiri bahkan tak bisa menyelesaikan sesuatu yang ia perbuat?

[6] Biasanya, saya akan membaca sebuah tulisan, pemikiran, observasi, hingga berkali-kali (contoh minimal 3 kali), hingga muak. Kendala kebahasaan tulisan filsafat juga lagi-lagi menjadi masalah. Misalkan, pengartian dari bahasa Prancis ke Inggris, kemudian ke Indonesia — padanan kata tidak selalu tepat. Selain itu, lagi-lagi ini diluar masalah manajemen dan waktu.

[7] Matematika tak mungkin dapat meraih sesuatu yang ada diluar manusia. Hal ini dikarenakan matematika merupakan suatu pengetehuan yang sebenarnya juga memerlukan intensi manusia untuk dapat memakainya kearah mana, ke logika bentuk apa, dan sebagainya. Hal ini ditambah dengan pembuktian logika fisika Heisenberg dan matematika Cantor.

[8] Logika fisika kuantum Heisenberg mengatakan bahwa ilmu fisika yang dikatakan sebagai sesuatu yang absolut pada akhirnya terbantahkan pula. Hal ini diakibatkan dalam logika fisika kuantum, pencarian suatu atom akan melalui perdebatan apakah yang dicari antara kefinalan atau elaborasi semua atom yang ada, tak dapat diwadahi dengan waktu yang tersedia. Sementara jika memikirkan dan berpatok terhadap waktu, elaborasi terhadap atom tak dapat dengan final. Disadur dari Paul Davies, Membaca Pikiran Tuhan.

[9] Logika matematika transfinit Cantor menyatakan bahwa ketdakmungkinan absolut/final yang benar-benar final/ totalisasi suatu himpunan X terhadap elemen-elemen yang menjadi bagiannya. Penjumlahan seluruh jumlah X, akan selalu lebih besar dari keseluruhan X itu sendiri, bahkan sekalipyn jika X tersebut tidak terbatas. Suatu ke infinitian jika dijumlah akan selalu melampaui infinit tersebut

[10] Saya disini hanya memakai contoh dinamika antara Meillasoux serta Hizkia sebagai sebuah perdebatan filosofis yang dibarengi dengan proposal politik. Dua karya dialektis mereka merupakan sebuah karya fenomenal yang diperdebatkan di lingkungannya masing-masing.

[11] Deleuze. G dan Guattari F. 1974. Anti-Oedipus: A Capitalism and Schizophrenia.

[12] Dalam hal ini tentunya juga termasuk studi matkul Ekonomi Internasional ini. Jika ditarik genealogi terhadap apa yang dikatakan Deleuze dan Guattari, hal ini juga berdampak terhadap pengaruh serta tingkah manusia-manusia yang tak jujur, manusia-manusia yang sebenarnya meriset sesuatu dem kepentingan nilai (misalkan).

[13] Reversabilitas merupakan proposal politik yang digaungkan Jean Baudrillard. Hal ini berupa pemutarbalikkan akan sesuatu teori dan praktik yang ada di depan mata. Dengan berbagai interpretasi ilmu sosial yang begitu meramaikan diskursus yang ada, orgy intelektual serta everythingsm yang dapat diartikan semuanya berhak ada dan berhak merepresentasikan keadaanya walau tidak penting; bagaimana cara memanfaatkannya?

Misalkan contoh, masyarakat Indonesia sedang diresahkan dengan penggaungan Buzzer sebagai pembela pemerintah. Dengan era teknologi yang begitu masif sekarang, tugasnya ialah bagaimana cara ada mekanisme yang bisa memutarbalikkan agar masyarakat memiliki kekuatan buzzer juga, dengan berbagai macam metodenya, untuk menyerang pemerintah yang tak bisa memerintah? Agar saling serang satu sama lain. Hal ini coba saya loloskan kepada organisasi BEM KM UGM 2021, usul yang sudah saya lontarkan kepada sang Presiden Mahasiswa, sebagai (yang katanya) tempat bergeraknya mahasiswa.

[14] Beberapa kelas tersebut yakni Agama dan Tata Politik, Teori Advokasi Sosial, Studi Kepemudaan, Multikulturalisme, Teori Sosial Kontemporer, dan Kritik Sosial Teknologi. Bahkan, jika dikombinasikan dengan berbagai macam bahan bacaan semisal bacaan perihal antropologi dan komunikasi, terpampang jelas adanya fragmentasi serta segmentasi pengetahuan yang ada di antara pengetahuan ilmu sosial, yang sebenernya lagilagi menimbulkan dampak buruk.

[15] Ini saya lihat menjadi kendala yang ada di FISIPOL UGM. Dosen-dosen beda ideologi (ditambah dengan manajemen waktu dan dihantam realita sosial), tidak mau dan mampu bertemu satu sama lain bekerjasama.

[16] Saya dan beberapa kawan memakai istilah ini untuk menggolongkan orang-orang Indonesia yang tidak peduli dan juga tidak memilki alasan mengapa mereka memiliki atau tidak berideologi.

[17] Yang berarti, setiap pegawai harus memiliki raga yang sehat, waktu bersama keluaga, rekreasi, pengembangan diri, waktu yang dimana ekspolitasi ataupun kerja yang didefinisikan dan dilakukan mengambil hal yang digaungkan Marx ketika ia menganalisis perihal definisi kerja yang direduksi serta eksploitasi yang dilakukan manusia. Melihat Ayah saya, saya rasa ia Bahagia dengan pekerjaannya serta ia juga tidak merasa terksploitasi. Ini yang menjadi tantangan orang-orang kiri, sepatutnya.

[18] Maksud dari kelas menengah ngehek adalah kelas menengah yang tidak peduli dengan permasalahan sosial; dan tidak bisa, mampu, atau mau menganalisis mengenai mengapa ada permasalahan sosial di sekitar dirinya. Ia tidak punya waktu, ia hanya bekerja saja, lalu ketika ia bekerja, lalu menemukan demonstrasi buruh yang sekarang sedang marak, menggangu roda ekonomi (sedikit), dan membuat ayah saya mengeluh — mengapa buruh-buruh itu demo dan tidak bekerja saja demi keluarganya?

[19] Terma ini sedang saya kuak, modern maupun pasca-modern memiliki relasi yang benar-benar bikin saya muak hari-hari kebelakang

[20] Ada hal aneh yang sebenarnya terjadi berkaitan dengan organisasi ini. Tahun ini saya menjabat sebagai Pimpinan DEMA FISIPOL UGM 2020. Salah satu program kerja saya ialah membahas pemikiran absurd Albert Camus. Kemudian, salah satu member organisasi lingkar diskusi tersebut memberikan komentar di dunia maya tentang kaliber DEMA sebagai representasi mahasiswa S1 yang ditengah kondisi krisis ekonomi sosial politik di negara tercinta ini, masih saja bisa membahas Albert Camus. Dirinya manjadi sosok paradoks di dunia maya ketika sudah tidak bisa me-manajemen bagaimana tata cara epistemologi dan berbagai perintilannya untuk dapat adil sejak dalam pikiran, bahwa diskusi apapun menjadi sah sama seperti permasalahan berani berbuat, berani bertanggungjawab. Jika ia mengikuti diskusinya, Ia mungkin akan tahu bahwa Camus mengalami pergolakan yang begitu runyam sehingga ia bisa melahirkan pikiran absurd. Namun, mungkin ia lebih memilih mencari jalan keluar ekonomi-politik yang bekerja sama dengan negara (saya akan kritik ini di skripsi saya). Namun, saya akan mengucapkan terimakasih untuk dirinya, serta lingkar diskusi tersebut telah berperan dalam pelaksanaan observasi sosial saya sejauh ini. Untuk masalah kerjasama ideologi dan sistem, akan saya riset lebih jauh dalam skripsi saya.

[21] Akan saya sampaikan di proposal skripsi saya yang juga saya lampirkan sebagai bagian dari riset ini; Bagaimana kritik saya yakni perihal ideologi yang bekerjasama dengan sistem pada akhirnya merusak manusia itu, sendiri. Bagaimana kapitalisme (maupun sosialisme, misalkan), harus memiliki lembaga yang dapat mendisiplinkan diri masyarakat (dalam hal ini adalah Negara). Baca Ramadhan, Andi Isyraqi. 2020. Indonesia: Absurditas Statolatri, Kapitalisme Komunal, serta Teritorialisasi Hasrat.

[22] Saya batasi penguakan terhadap analisis pascamodern/postmodern pada tulisan ini, karena akan panjang dan kemana-mana. Saya akan melakukannya mungkin untuk riset lanjutan. Saya akan melakukannya suatu hari nanti.

[23] Ini akan panjang, dan kemungkinan saya akan meriset hal ini pula. Kritik lebih jauh mengenai Ideologi.

[24] Sneijder. 2018. Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan. Namun, pembacaan antropologi saya tidak hanya sekadar buku itu. Buku itu hanya pembukaan riset antropologi yang saya lakukan.

[25] Mardiansya. Robi. 2018. Albert Camus: Subjek Tragedi. Universitas Gadjah Mada

[26] Hanya dengan mengandalkan akal budi dan analisis sederhana serta tanpa melibatkan peranan pengalaman, kausalitas dan efeknya tidak akan pernah dieksplorasi. Justru pengalaman itulah yang membuat kita menyimpulkan eksistensi suatu obyek yang berasal dari obyek yang lain, dan sebenarnya dengan hal ini dinamika sosial menjadi rancu dan tidak menemukan kebenaran yang benarnya. Kausalitas yang terjadi di antara obyek-obyek tidak dibangun hanya berdasarkan pemahaman konsep obyek-obyek yang dikatakan: sampai kita tidak mengalami bahwa api membakar diri kita sebagai manusia, maka kita tidak dapat membangun suatu kaitan kausalitas antara api dan rasa sakit; hanya dengan menganalisa konsep api kita tidak akan pernah menjumpai di dalam konsep bahwa api dapat membakar. Relasi kausalitas bukan relasi antara ide-ide; pengetahuan kita akan relasi-relasi obyek-obyek yang telah dikatakan selalu merupakan pemahaman empiris. Disadur dari Duck Sophia. Kritik Terhadap Causalitas. http://www.ducksophia.com/kritik-terhadap-causalitas/

[27] Arkeologi dimaksudkan penyingkapan berbagai model dan sistem pemikiran dari sejarah dalam konteks tertentu, berusaha menyingkap unsur tersembunyi serta terdalam dari episteme. (Foucault, 2004: 128)..

[28] Sedangkan Genealogi usaha untuk menguak asal-usul serta silisilah perkembangannya, sistem dan model pemikiran dalam sejarah, (Foucault, 1977: 139–140).

--

--