Ruang Sosial: Seksualitas Tabu, Dialektika Kaku, serta Intelektualitas Semu?

Isyraqi Ramadhan
29 min readNov 10, 2020

--

“Refleksi kritis menanggapi bedah buku Jakarta Undercover, yang dilaksanakan oleh divisi Manajemen Opini Publik (MOP) DEMA FISIPOL UGM 2020”

Prolog

Buku Jakarta Undercover karya seorang wartawan asal Jombang, Jawa Timur, ini cukup membuat publik Indonesia gempar medio awal 2000-an, hingga sekarang ketika sudah dicetak total puluhan kali. Tulisan ini coba aku angkat, karena terpantik adanya kesempatan dan keharusan untuk mengisi gap antara masalah yang tak diselesaikan oleh sang penulis, lebih lagi terhadap divisi MOP DEMA FISIPOL UGM sebagai entitas yang mencoba mengangkat buku ini. Rasa terimakasih tentunya saya lantunkan karena penulis berhasil mengungkap fakta seksual yang tak terlihat kasat mata — namun penulis, entah memang belum memiliki tujuan untuk melaksanakan usaha transformasi, belum ada tawaran langkah lanjut bagaimana masalah tersebut dapat dieskalasi dan diberikan solusi.

Namun, sebagai klaim pertama dalam tulisan ini: Aku tak akan mengkaji secara ilmiah dan mendalam buku tersebut secara ekonomi-politik, gender, tata kota dan pemerintahan, kriminologi, ataupun kajian yang mendalam lainnya secara spesifik. Kalimat yang ada dibawah diatur secara suka-suka. Usahaku adalah menghadirkan tulisan ringan bernada reflektif-kritis. Tulisan ini hanya berisi subjektif sebagai diriku pribadi mengenai buku ini. Aku ingin memakai kebijaksanaan, layaknya seperti apa yang kupelajari terhadap pikiran Frantz Fanon, bahwa kondisi di berbagai tempat di dunia yang jelas berbeda serta beragam, dan perbedaan pun keberagaman itu melahirkan manusia yang memiliki pengalaman, kelas, identitas, atau apapun yang berbeda perspektif pula. Berangkat dari hal tersebut, aku tak mau memaksa pembaca mengamini apa yang aku katakan. Pula solusi yang aku berikan di akhir tulisan juga mungkin cetek dan mudah terbantahkan. Jadi anjuranku, skeptislah terhadap tulisan ini. Moga-moga ada diskursus lahir pasca terbitnya tulisan yang akan diangkat di sosial media DEMA; terlebih momentum dimana mahasiswa baru sedang ada di tahap euforia mengenal lingkungan baru.

Jakarta Berbeda, Jakarta Kejam

Sebagai seorang Deleuzian, kehidupan Jakarta yang tercetus dalam benakku ialah bentuk kehidupan mengharuskan sublimasi dan represi diri masing-masing individu yang bergelut didalamnya, bahkan mengkonstruksi bentuk ambisi dan hasrat manusia dalam padatnya ibukota. Jakarta yang merupakan sebuah kota, layakanya ruang publik pada umumnya, secara esensi merupakan tempat untuk bisa menjadi ruang ekspresi serta partisipasi warganya, apapun bentuk ragamnya (Lefebvre 2000:26). Pertarungan wacana tentunya merupakan hal yang lumrah, wajar, dan patut ada; dan hal yang tak akan pernah usai untuk diperebutkan dan dipertaruhkan. Kota menjadi tempat agar terus memproduksi segala pengetahuan untuk mempetahankan hegemoni yang beredar.

Namun, sama seperti kritikku terhadap apapun, semisal demokrasi, politik, ideologi, agama, atau hal-hal yang seringkali diperdebatkan disekitarku–semuanya tergantung kepada kekuasaan! Dan kekuasan itu semakin bergerilya, bertarung dengan waktu, ditengah gap yang harus diisi dengan bertubinya masing-masing masalah didalamnya. Demokrasi tak berkualitas, politik yang tak membawa ke gerbang sejahtera, ideologi yang bertentangan antara praktis dan teoretis, dsb. Pula, relasi kuasa baik wacana, uang, pengetahuan, atau apapun itu sangat berperan vital dan memengaruhi budaya yang terbentuk, secara spasial maupun temporal.

Lantas, hegemoni apa yang ada di Jakarta? Sehingga dapat kukatakan begitu riuh dan memuakkan? Semacam kemewahan hambur-uang dibalik menjalarnya kemiskinan? Kehidupan keras ala patriarki yang tak ramah akan kesetaraan dan perdamaian? Eksploitasi secara terus-menerus lalu selebrasi menumpahkan segalanya di akhir minggu layaknya kelas menengah perkotaan? Untuk hal ini, aku awali dengan narasi pembuka kehidupan 11 tahunku disana. Kehidupan sebagai warga kelas menengah di Jakarta yang menghabiskan masa tumbuh dengan berbagai absurditas yang terjadi berulang kali (aku memasukkan narasi agak panjang, demi langkah preventif bahwa pembaca tulisan ini bukan berasal dari Jakarta, untuk menjelaskan background-ku).

Aku yang baru menginjak umur 12 tahun pernah “diberikan sambutan selamat datang” oleh kehidupan Jakarta. Merasakan fenomena absurd (atau seringkali orang menyebutnya kekerasan?) yang tak biasa; dipukuli, diborgol, dan ditodong pisau oleh preman pasar ketika baru saja pulang dari sekolah menaiki bus umum, dan ini tak hanya sekali-dua kali. Waktu itu, sebagai anak belasan tahun yang baru menginjak kelas satu sekolah menengah pertama, aku hanya bisa pasrah dengan mata berkaca-kaca, ditengah provokasi preman-preman yang berniat memalak apa yang kupunya.

Loncat kemudian diluar fenomena kriminalitas berupa premanisme yang sebenarnya cukup banyak kurasakan sehabis itu, aku coba mengantar kepada cerita lain mengenai fenomena kriminalitas bercampur seksualitas dengan latar tempat & waktu yang sama. Seorang kawan perempuan-ku yang cerita bahwa ia sudah telanjang berdua bersama pacarnya (entah tanpa konsen atau tidak, secara kriminologi, kedua belah pihak merupakan korban dari kejahatan).[1] Bahkan sebelum itu, foto telanjang teman wanitaku lainnya tersebar masif di dunia maya (dan kukiran mulai menjadi rentetan foto-foto telanjang/syur lainnya yang menjadi komodifitas seksual di Jakarta ditengah gencar dan masifnya teknologi).

Di kerangka waktu yang sama, digoda kaum gay beberapa kali, dicolek, (bahkan hampir) dicium. Menimbulkan pertanyaan, mengapa ada orientasi seksual lain yang memaksa orang tanpa konsen? Masa kanak-kanakku hanya berpikir, bagaimana caranya untuk menangani sendiri keanehan-keanehan fenomena absurd sosial disekitarku? Jelas, dahulu aku (dan mungkin hingga sekarang), aku belum memiliki kekuasaan. Aku tak tahu apakah perspektif individu pada umur tersebut di lain kondisi spasial dan temporal pernah merasakan hal-hal yang kukatakan absurd seperti diatas sebelumnya. Penekanan pada konteks spasial dan temporal yang ada, aku terbentuk oleh kondisi seperti itu. Aku ingin katakan: Jakarta menginternalisasi warga kotanya sedemikian rupa, hingga mungkin ada yang menjadi gila.

Aku percaya, bahwa pada perjalannya, manusia pada akhirnya persis yang dikatakan Deleuze: tumbuh mengikuti pola yang membentuk diri agar bermodalkan dapat survive: menjadi pribadi yang kuat agar bisa melawan bajingan preman pasar, menjadi sosok yang berusaha dewasa dan terbuka, mendengar cerita yang sebenarnya tak mau didengar dan dirasakan, atau berubah menjadi sosok yang misalkan menjadi anti-gay karena pengalaman hidup? Jakarta dan manusianya pada akhirnya memiliki anggapan serta benak beragam di setiap individunya. Walau tak bisa dipungkiri bahwa tak semua anak dan manusia seberuntung ataupun seapes diriku; tentu yang ber-priviledge lebih berpotensi melahirkan cerita lain yang mungkin patut disyukuri; akan tetapi tentu juga yang takdirnya tak seberuntung itu memiliki cerita menarik pula (re: mengenaskan).

Problem Pendidikan

Satu hal yang menjadi masalah juga adalah, hal ini tak sejalan dengan apa yang harus didapatkan anak di sekolah: pendidikan mengenai mengapa hal kriminalitas atau seksualitas terjadi, dan pelajaran bagaimana pelajaran menyelesaikan masalah dari hal tersebut. Dan pembiaran akan atas hal itu akan membentuk pertarungan wacana yang ada di dalam kota.

Justru kontrakdiktif, pendidikan di Jakarta yang kudapat ternyata tak jauh dari pertikaian sedari sekolah dasar dengan memakai senjata tajam, anak yang akrab dengan mabuk minuman, isapan, atau mushroom, jaringan narkoba yang sudah digeluti sedari muda (luar biasa!), kawan dan orang-orang overdosis berserak di berbagai penjuru kota, teman sejawat keluar masuk penjara, guru yang melakukan murid layknya kerbau yang harus patuh (seperti kata Soe Hok Gie), dan berbagai fenomena bodoh lainnya.

Tentunya tak sulit, jika memiliki niat mengeksplorasi kehidupan Jakarta yang bengis seperti cerita diatas — cukup bermodalkan kepo atau sekadar berani menerjang kenyamanan, untuk menemukan fakta dan realitas konyol diantara disparitas antara kaya-miskin kota. Menjelang dewasa, kehidupan pelacuran, pelecehan seksual, semisal hubungan sekretaris terhadap bosnya, menjual tubuh agar naik jabatan dikantor, pekerja pulang kerja yang saling leceh di KRL atau bus umum, melecehkan remaja tanggung, merupakan cerita biasa kehidupan Jakartans. Ini tentunya masih diluar pengalaman sebagai orang dewasa yang beradu nasib digedung pencakar langit. Berapa persen yang depresi? Tonggakan utang, pressure sana-sini kerjaan, dsb. Entahlah. Namun, hal itu merupakan salah satu faktor yang membuatku agak memikirkan untuk kembali hidup di Jakarta lagi.[2]

Masalah Kota: Intensi terhadap Relasi Sosial-Ekonomi-Politik yang Berkelindan terhadap Fenomena Seksual

Pembukaan yang cukup panjang sudah aku luapkan, agar pembaca berusaha mengerti konteks apa yang ingin kubawa dengan teks ini. Sekarang waktunya untuk membedah apa yang terkandung dalam bacaan ini! Emka mengatakan bahwa budaya pop dan kehidupan metropolitan lengkap dengan segala bentuknya telah melahirkan iklim seksualitas yang menggila (Emka, 2005). Iklim seksualitas yang terbentuk dalam sebuah kota metropolitan. Atau bahkan, jika tak disebutkan sebagai menggila — terjadi sebuah pengkonstruksian kondisi seksualitas yang bertransformasi menjadi normal ditengah apa yang ada diantara kita. Kisah dibuku semisal one night stand, prostitusi kreatif, kencan dan langsung caw eksekusi kamar hotel, merupakan kisah yang menjadi santapan borjuasi kecil/kelas menengah-keatas Jakarta.[3] Bahkan, pembongkaran kisah-kisah selanjutnya, semisal orgy sex bawah tanah, kencan dengan bule impor, pajero goyang yang mengeliling tol ibukota, sashimi girl, dan puluhan bab serta pembahasan buku lain Emka seperti pada buku in bed with models, yang menguak sisi gelap para selebriti Indonesia yang nyemplung terhadap dunia seksual Indonesia, ataupun buku lainnya yang berjudul Tumpah Tindih, jauh lebih kompleks karena tidak menceritakan mengenai kehidupan seksual di Jakarta saja, tetapi juga berbagai kota metropolitan di berbagai negara.

Mengapa hal-hal diatas dapat menjadi sebuah fenomena seksualitas, yang juga dalam perspektif lain menyerempet kekerasan dan kriminalitas? Perlu adanya pendobrakan lebih jauh mengenai stigma tabunya seksualitas untuk eksplorasi permasalahan sosial-ekonomi-politik agar bacaan ini dapat dibicarakan oleh masyarakat. Tulisan tersebut dapat dikaji lebih jauh dalam kerangka sosial-politik apapun bentuknya. Semisal pertanyaan, mengapa lelaki suka menyewa kamar di hotel 1–2 jam, one short time saja — yang tentu saja sangat menguntungkan bagi pebisnis hotel jam-jaman yang hampir tersebar di tiap sudut kota besar seperti Jakarta, dan menyumbang berapa persen dari keuntungan pajak pariwisata atau pajak bangunan kota? Atau pertanyaan mengenai relasi mengapa perempuan Uzbekistan menjadi penyokong pekerja seks komersil utama di seluruh dunia — berkaitan dengan populasi serta lapangan pekerjaan? Atau pertanyaan-pertanyaan imaji berbau seksual lainnya yang dapat ditelusuri lebih jauh.

Mencoba Bijak: Telaah Fenomenologi serta Hermeneutik[4]

“Bukankah sebetulnya banyak perbuatan kita (dan dapat nikmat) seperti makan; buang air kecil maupun besar, bersin, menggaruk dan lain sebagai- nya. Patut kita renungkan mengapa seks dan seksualitas begitu diistimewakan, sehingga diselubungi, diintip, dikomodifikasi, diharamkan, bahkan ada yang dikutuk (seperti seks di antara saudara, orangtua dan anak, dsb.), namun juga oleh sebagian orang dianggap amat berharga, bahkan dirayakan.” Dede Oetomo, co-founder GAYa Nusantara, dalam pembuka buku Jakarta Undercover.

Kembali kepada pembahasan buku ini, pertanyaan utama yang harus terjawab terlebih dahulu, yang banyak bergulat dan beredar di beberapa kalangan: stigma semisal buku ini hanya sekadar cerita bokep belaka, atau misalkan buku ini hanya mengkomodifikasi tubuh perempuan (yang mayoritas menjadi objek), atau pertanyaan lainnya yang menegasikan untuk adanya pembongkaran lebih jauh.

Untuk menambahkan diskursus mengenai argumentasi-argumentasi semacam itu, aku ingin memakai metode fenomenoloi Edmund Husserl; yang beragumentasi bahwa pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran.[5] Manusia sebenarnya sadar akan pengalamannya sendiri yang memang selalu bersifat subjektif. Tak ada pandangan obyektif yang dapat dilahirkan oleh manusia. Jadi, buku ini merupakan bentuk sebuah keterpikiran subjektif, dan ada usaha untuk manusia memvalidasi apa yang sebelumnya ia percaya dan ia relevansikan dengan teks yang ada di depan dia. Pula, untuk menambah penjelasan, aku juga akan coba memakai argumentasi yang dikatakan dalam hermeneutika Gadamer, karena penguakan fenomena ini merupakan juga berkaitan dengan apa yang dinamakan fusions of horizons (Gusmao, 2017).

Pertama, pemakaian intensionalitas oleh Husserl dapat berdampak seperti berikut, semisal jika kita berpikir bahwa buku ini mesum dan bokep, kita membentuk gambaran tentang definisi ke-mesum-an sebelum membaca teks ini. Pemaknaan terhadap sensualitas yang ada di antara kata dan titik kalimat-kalimat yang bermain dan menari di dalamnya, tentunya dapat relevan maupun tidak, sehingga pembacaan sebuah teks maupun konteks merupakan suatu kewajiban agar ada intensi yang berkembang lebih jauh, tergantung pembelokan makna yang ingin dilakukan sang pembaca. Akan selalu ada usaha dari setiap manusia untuk memvalidasi sesuatu yang dia percaya, setelah manusia menyelesaikan pembacaan terhadap teks. Semisal, kita berpikiran bahwa buku ini merupakan suatu bentuk komodifikasi terhadap seksualitas, yang dibunyikan di kepala tentunya akan juga hal demikian, kenikmatan, kemudharatan, eksploitasi seksualitas, ketubuhan, dsb.

Walau sebenarnya, tetap ada kemungkinan akan terjadi pencampuran dari horizon yang memiliki potensi melencengkan dan menambah komponen teks-konteks karena persepsi manusia yang memiliki kekayaan, keberagaman, serta kebijaksanaan yang berbeda — ini rentan oleh intervensi kekuasaan (seperti tesis saya diatas, dimana semuanya tergantung sejago apa kekuasaan). Rawan intervensi tersebut menjadikan sosok yang mencoba bijaksana agar selalu waspada. Selain itu, Husserl menegaskan bahwa kesadaran akan selalu terarah kepada dunia, fantasi, dan imajinasi, yang ada di benak, dan itu lah yang merupakan suatu bentuk dari Intensionalitas (Dagfinn, 1990). Intensi yang mengambil keruk peran terhadap makna, misalkan makna sebungkus rokok akan dipandang berbeda jika diliat oleh seorang pengidap kanker paru-paru dengan remaja yang mecandu.

Lebih jauh, bagi Husserl, di dalam pengamatan suatu “obyek khusus”, terkandung juga makna “obyek pada umumnya”. Misalkan, seorang pengidap kanker paru-paru akan melihat ujung dari objek bahwa jika ia merokok, ia akan mati lebih cepat, dan itu merupakan keputusan yang mungkin bodoh. Lain hal, pandangan sang remaja pecandu rokok dapat melahirkan pemikiran yang berbeda, semisal bahwa ia merokok namun tetap makan sehat, olahraga, dan hal-hal menyehatkan lainnya tentunya menjadi tak masalah. Pengamatan tersebut sebenarnya bersifat transendensi, mengawang-awang, asumtif, yang sebenarnya memiliki landasan pengalaman, sering menjadi common sense, berpeluang untuk salah, dsb. Manusia bagi Husserl sudah memiliki intensi untuk menganggap hal apa sebagai apa yang dia percaya. Katakanlah, membaca buku yang dianggap tabu ini; beberapa kepala yang membaca tidak bisa dipastikan memiliki bunyi yang sama.

Loncat kepada apa yang dikatakan oleh Gadamer memiliki tesis hermeneutis, Gadamer mengatakan bahwa pemaknaan akan suatu teks tidak berarti kaku dalam rangka untuk mencari apa ide atau pemikiran yang dilontarkan penulis dalam teks tersebut.[6] Pembacaan terhadap suatu teks dapat melahirkan esensi serta eksistensi yang berbeda sesuai dengan apa yang ada di benak pembaca teks tersebut. Walau menurut Barthes, ini merupakan tanda matinya sang Author (Barthes, 1967). Penulis akan mati karena usaha kerja penyampaian yang dilakukan, apa yang ia tulis, akan dibunuh oleh pemahaman sang pembaca yang memiliki pengalaman berbeda (termasuk risiko terhadap pembacaan ini). Memakai kata cakrawala, sesuatu yang memiliki komponen seperti background penulis, pembaca, momentum, waktu, kondisi masyarakat, sangat memengaruhi pembacaan teks sehingga melahirkan fusion of horizons.[7]

Pembacaan ini mengatakan bahwa akan ada pengaruh sejarah yang akan memengaruhi obyektifitas seseorang. Fusion of horizons ini dapat diibartkan dengan pembacaan buku Jakarta Undercover yang dilakukan anak sekolah menengah pertama dengan orang yang menempuh tahun ke-empat kuliah; tentunya merupakan suatu hal yang berbeda dan berpotensi melahirkan sesuatu yang berberda, pembaharuan, tingkat level pengetahuan dan pengalaman yang berbeda. Pemahaman anak ingusan yang malas berangkat sekolah dibandingkan dengan pemahaman anak FISIP yang sudah rada tobat tentu besar kemungkinan berbeda. Fusion akan terjadi dengan peleburan horizon orang yang memahami dengan teks/konteks sehingga melahirkan horizon-horizon baru.

Berkat dari dua sumbagan Husserl dan Gadamer, aku mencoba mengurai secara reflektif untuk mengurai tafisran dan fenomena yang ada di dalam buku ini. Aku ingin berkata: Intensiku yang terpengaruh dengan fusion of horizons ingin menguak, kondisi sosial-ekonomi-politik yang ada justru berdampak dengan berbagai fenomena yang ada di buku ini. Mencoba menafsirkan mengapa fenomena-fenomena penjajahan seksual terjadi? Genealogi apa yang ada? Apa risiko, motif, serta solusi yang dapat ditawarkan?[8]

Tafsiran Fenomena 1: Sosial-Politik

Tafsiran pertama-ku adalah penulis melontarkan suatu statement menarik: Prostitusi itu adalah ritus pendewasaan, serta proses pematangan lelaki nyaris kurang emosional bahkan cenderung sensasional. Hal ini disebabkan bahwa dengan “menguji coba” amunisi (dalam hal ini adalah kelamin dan kemampuan seksual) yang laki-laki miliki, dapat membuktikkan apakah sang lelaki dapat “mencetak goal kemenangan”, anggaplah dapat memuaskan pasangan hubungan seksual-nya, “tahan lama” secara durasi, dsb. Penulis memasukkan apa yang dikatakan oleh Irma Kurz dalam bukunya Malespeak, yang menjelaskan mengenai transisi fisik laki-laki dari fase remaja menjadi dewasa, tidak lebih traumatik dibandingkan dengan pengalaman perempuan yang melalui fase menyakitkan. Dikatakan bahwa suara yang menjadi lebih berat, tumbuhnya segala bulu, dan bahkan mimpi basah pertama, merupakan pengalaman yang menyenangkan, walau dikatakan juga menegangkan (Emka, 2005).

Hal ini dapat disandingkan misalnya dengan perkembangan wanita menuju kematangan seksual. Darah pertama menstruasi disertai rasa sakit dan ketidaknyamanan. Robeknya keperawanan dikatakan sering disertai perasaan sedih — karena dianggap dirinya kehilangan sesuatu, analogi kehilangan mahkota berharga, Dalam buku ini juga dikatakan bahwa proses, hamil, melahirkan, dan pada akhirnya memasuki fase menopause yang juga berselimutkan rasa sakit. Semuanya ditandai dengan perubahan fisik yang amat nyata. Proses pematangan ini amat emosional dan secara psikologis betul-betul mengubah diri perempuan (Emka, 2005). Dengan pelacakan arkeologi[9] serta genealogi[10] yang dikulakukan terhadap karya Emka, valid jika ia mengatakan bahwa ada kecenderungan bahwa laki-laki memiliki cara yang lebih sensasional dibandingkan perempuan yang lebih emosional untuk dapat mengeksporasi seksual.[11] Pembacaanku terhadap Emka adalah: Emka beragumen bahwa laki-laki harus mencoba penis, fantasi, pemaknaan terhadap vagina untuk dapat menikmati kenikmatan seksual dan sensualitasnya.

Ego lelaki terdorong untuk menciptakan cara-cara yang memungkinkan mereka bersama-sama saling menegaskan dan menunjukkan kalau proses pematangan mereka normal. Aku sendiri tak bisa mengelak, bahwa perbincangan laki-laki mengenai seksualitas seringkali begitu kental seperti tak ada sekat. Tak usah naif, komodifikasi atau bahkan objektifikasi dari laki-laki terhadap perempuan begitu nyata bahkan di lingkungan sekitarku, bahkan kemungkinan besar lingkungan kalian.[12] Seksualitas merupakan hal yang dapat membuat hubungan tak kenal yang kaku karena baru bertemu menjadi cair, bagi sebagian besar orang.

Aku tantang, coba cek: berapa total grup sosial media berkonten porno yang berisi manusia-manusia dilingkungan kita, yang pada akhir sebenarnya dapat membentuk komunitas? Atau mungkin lebih eksplisit: Grup bokep yang ada di sekolah atau kampus kalian? Tentunya tantangan ini berangkat dari refleksi circle pertemananku yang laki-laki. Jelas tak semuanya. Namun aku justru mempertanyakan, apakah circle pertemanan perempuan tidak melakukan hal serupa?

Membahas hal itu tentunya akan menguak problem yang lebih besar dan akan lebih panjang. Namun, untuk kembali kepada substansi apa yang terkait pada buku ini, Ada titik temu tesis: Bahwa perbincangan seksualitas yang sering kali tabu justru menjadi perbincangan menarik sebagian kalangan (re: sebagian besar laki-laki). Secara sosiologis, hal ini berlandaskan klaim bahwa banyak laki-laki yang memerlukan dialektika agar dirinya tidak merasa sendirian mencari eksplorasi, dan memastikan bahwa dirinya tidak menyimpang dari pandangan seksualitas straight mainstream yang ada (atau bahkan yang seharusnya?) Jika berbeda, ia akan dikucilkan dan jadi bahan olok-olokan oleh kaumnya sendiri. (Emka, 2005). Untuk perempuan, pembacaan terhadap Emka dengan seksualitas merupakan proses emosional yang condong mengarah terhadap ketersiksaan, silakan diisi gap atau dibantah jika salah.

Ingin kukatakan, bahwa hal ini menjadi kendala dan masalah ketika, hal ini terus diproduksi. Logika mudah Foucault: Power/Knowledge — dan dapat terarah kepada manifestasi kekerasan, Mudah saja, silakan tonton film Jakarta Undercover atau membaca reviewnya; praktik kekerasan struktural dan kultural begitu kental.

Tetapi, silakan bantah jika salah. Sangat banyak laki-laki anak-anak, remaja, dewasa bahkan tua, seringkali (atau bahkan mayoritas, terlepas ia bermoral atau tidak?) memproduksi kebanggaan sebagai lelaki dengan kebanggan memiliki fantasi sensasional, atau bahasa Freud perihal phallus yang begitu kuno, bahwa laki-laki berperan seksual aktif, dan bisa mengeksplorasi dan mengkomodifikasi hasrat dan fantasi yang mereka punya; dan vagina adalah pasif karena penis-lah yang berkuasa. Penguakan dan pelacakan ini cukup sulit dan akan panjang lagi jika di eksplorasi, karena dikotomi perbincangan seksual benar-benar terbagi atas golongan: Apakah ada grup sharing konten porno yang berisi laki-laki dan wanita? Sering kali perbincangan seksual hanya terjadi atas dikotomi tersebut — tabu untuk sharing seksual lintas lawan jenis.

Hal ini bertolak belakang dengan perempuan yang terjebak dengan pengalaman seksual yang emosional; istilahnya kalah start — kalah untuk mengimajinasikan fantasi seksual yang seharusnya juga ada (silakan dijawab juga, ada peluang besar untuk mengisi gap atau membantah analisis ini), yang pada akhirnya (maaf), terpaksa mengikuti logika komodifikasi dan fantasi seksual yang dibentuk laki-laki. Argumentasi ini karena perempuan terpaksa untuk menjadi aktor eksual pasif Pendek kata, penggunaan knowledge ini pada akhirnya melahirkan realitas sosial yang demikiran rupa (Foucault, 1980). Analisis Sosial-Politik perihal wacana dan kuasa ini berkaitan dengan…

Tafsiran Fenomena 2: Ekonomi-Politik

Emka memiliki pola pikir yang sama dengan saya. Bahwa eksplorasi tersebut terjebak diantara sebuah keniscyaan sekaligus kontroversi. Niscaya dan kontroversi karena tatanan yang terbentuk akibat wacana sudah seperti itu, dan manusia yang rewel seringkali bermasalah dalam mendobrak status quo, apapun itu! Proses menuju kematangan laki-laki yang penuh akan rasa coba sensasional, secara sosial beralih kepada upaya melancong ke prostitusi dan justru memasukkan variabel ekonomi dalam fenomena seksualitas kota Jakarta. ‘Jajan’ dengan wanita-wanita pekerja seksual, menjadi sebuah trend sekaligus kebutuhan yang tak bisa dipungkiri. Peformativitas kota Jakarta sangat mendukung agar laki-laki menjadi subjek yang mengeksplorasi dan pada akhirnya perempuan menjadi objek atau subjek yang tertindas (tidak 100% lagi-lagi, namun mayoritas).

Namun, kendala justru ada disini (dan ini sebenarnya hal yang ingin saya angkat di bedah buku yang gagal dan sepertinya akan zonk dari divisi MOP DEMA), dimana relasi ekonomi-politik berbasis kapitalisme yang mengedepankan budaya konsumerisme, mengeksploitasi hal-hal dengan pemasukan embel-embel kreatif, namun kali jahat dan menyiksa, sangat sulit untuk didobrak (contoh eksploitasi kreatif: Prostitusi yang dijelaskan dengan sangat lengkap oleh Emka di buku tersebut.). Bahkan untuk dikikis pelan-pelan sama saja seperti Sisyphus yang mendapatkan hukuman mendorong batu hingga bukit, kemudian menggelinding lagi dan harus diulang berkali-kali![13]

Ekonomi kapital pada akhirnya merasuki fenomena seksualitas dan membuat adanya ketidakadilan (seharusnya, yang berideologi feminisme sosialis paham akan hal ini, namun entah dengan yang beraliran feminisme atau ideologi lain). Penjajalan akan kelamin sebagai komoditas merupakan pilihan hidup yang sering kali meledak dan harus dipilih karena kehidupan metropolitan yang kusut dan pengaturan sistem masyarakat yang pelik. Tentunya, prostitusi menjadi fenomena sosial yang rumit, menjadi fenomena di banyak tempat muka bumi. Secara ekonomi-politik di Jakarta, pemerintah tak mampu untuk dapat membuka lapangan pekerjaan sekalgus penyedia keterampilan via pendidikan, sehingga banyak pelacur ataupun gigolo yang rela menjual dirinya demi sesuap nasi, memberikan keluarganya sebuah penghidupan.[14] Disisi lain, justru banyak pertentangan, walau tak serempak, dimana identitas berdasarkan agama atau ideologi menolak kehadiran PSK. Pertentangan jadi bercabang, apakah patut dilegalkannya prostitusi, atau harus menutupnya tempat yang distigmakan “ladang dosa” bagi segelintir orang.[15]

Masalah ditambah, dengan adanya prostitusi yang berkaitan dengan keperluan pembangunan kota. Prostitusi memiliki dampak baik, yang juga pada akhirnya menjebak segala oknum yang bermain di dalamnya. Prostitusi ataupun bisnis seksual semacam itu memiliki peran besar dalam perputaran ekonomi masyarakat bawah serta pembangunan atas kota. Hotel mewah, kawasan pariwisata, restoran, dan berbagai industri lain yang berkelindan. Lokalisasi prostitusi sebagai produk paling nyata, faktanya memutar ekonomi masyarakat. Menurut penilitan yang dilakukan oleh Sciortino, menyebutkan bahwa penelitian 100% hasil perekonomian prostitusi dibagi setengah untuk si pelacur, 25% untuk keluarga, dan 25% untuk satuan pengamanan dan germo sebagai rekan kerja dari pekerja seks komersil (PSK).

Jadi, untuk membebaskan orang-orang agar “merdeka” dari stigma buruk atau kondisi pekerjaan PSK yang terpaksa, aku mengatakan bahwa solusi dari masalah pelik yang sebenarnya secara implisit ada dalam buku itu ialah: Pembebasan juga harus dilaksanakan secara pembebasan kelas! Rosa Luxembourg, seorang wanita feminis sosialis, mengatakan bahwa perjuangan feminis harus menempatkan terhadap perjuangan proletariat (Mulyanto, 2019). PSK ini adalah buruh seks, kaum proletary, yang faktor produksinya diambil oleh kalangan borjuasi. Apapun kelas mereka, mau ada di hotel berbintang yang digaji jutaan setiap ronde oleh konsumen laki-laki borjuis kota, ataupun kelas ecek-ecek yang mudah ditemui di penjuru jalan kota.[16] PSK diberbagai golongan yang diceritakan buku itu kuyakini memiliki mayoritas motif yang serupa: Hal menjajalkan kelamin merupakan pilihan terpaksa yang mau tak mau digeluti untuk dapat bertahan hidup.

Peran tradisional perempuan semakin menyiksa hidup mereka, apalagi jika ditambah dengan konsekuensi mereka menjadi penopang penghidupan keluarga serta terjebak pada traditional gender role (seringkali memuakkan jika diperdebatkan, padahal harus! Akan dibahas di tafsiran ke-tiga). Perempuan harus mengurusi urusan dapur serta mengurusi anak, ditambah fenomena bahwa mereka bekerja karena kondisi ekonomi mereka yang ada dibawah memiliki risiko besar untuk memiliki takdir yang tragis dibandingkan laki-laki (tentunya, traditional gender role laki-laki apalagi kelas bawah juga seringkali mengenaskan pula). Ini tentunya lebih advance dibandingkan anggapan bahwa perempuan seharusnya dapat memiliki hak yang sama untuk dapat menentukan apa yang ingin dia pilih dan kerjakan. Menjadi PSK merupakan pilihan paling miris, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Hukum yang tak jelas, kondisi masyarakat yang menolak akan ada tapi memanfaatkan ke-ada-annya, ekonomi yang eksploitatif, risiko penyakit yang sangat besar. Syukurlah kalian lelaki maupun perempuan ber-privilese!

Tafsiran 3: Dialektika Kaku dan Xenodisipliner?

Apakah ada usaha transformasi daripada sekadar melonglong sana-sini membela mereka yag tak menerima keadilan, termodifikasi, namun tetap tak berdampak selain “berperan aktif dalam demokrasi”, membebaskan yang terkungkung (Aku tak yakin pula apakah tulisan ini dapat berguna bagi membebaskan mereka yang marjinal atau tidak)?

Walau masih mencoba skeptis, aku sepakat dengan Ricoeur mengenai dialektika dan pembacaan teks terus menerus: membenturkan terus terhadap apa yang ada diluar diri demi mengejar hal dialektis. Dialektika digunakan diantara kesengajaan-tidak sengaja, tetap diperlukan walau harus bertemu antara ketengangan-kebebasan, diantara naluri-rasio, sakral-profan, dsb (Sneijder, 2008). Dialektika merupakan proses takdir bagi manusia untuk melaksanakan perjalanan di kehidupan, dan menuju menjadi manusia ironis (Rorty, 1989).

Manusia Ironis yang secara kontingen dan menuju tahap solidaritas diperlukan, karena manusia baru dapat bisa dinilai ketika sudah menyentuh Final-nya. Sedangkan perkembangan dialektika antara manusia bercampur fenomena, teks, konteks, apapun itu terus. Hal ini membuat kondisi menjadi wajar, misalkan aku yang sekarang mencap diri kapitalis tiba-tiba ketika bertemu akan mengatakan aku sosialis. Aku yang konservatif tiba-tiba besok lusa menjadi atheis, dsb. Manusia Ironis adalah manusia yang sebenarnya dibutuhkan kehadirannya karena terus berkembang. Argumentasi Rorty mengenai ini membuat kita sebaiknya mawas diri untuk menilai individu: karena semuanya belum menemukan final sebelum mereka mati.

Pembukaan dialektika tersebut perlu. Tesis-antitesis: sintesis, berulang kali. Praktik tak menolak untuk diskusi, tak menolak untuk berpartisipasi aktif, tak menolaj terhadap berbagai tantangan didepan mata, tak menolak untuk membaca walau muak; tak menolak untuk terjun lintas kelas dan identitas, sehingga preventif untuk bisa memperkaya logistics of perception dan tak salah mengambil langkah. Foucault, Virilio, bahkan pemikir lokal seperti (yang saya hormati) Hizkia Yosie Polimpung,[17] bahkan pemikir perempuan (yang tereksklusi sepanjang perjalanan tradisi filsafat) Julie Kristeva, yang mengatakan bahwa penolakan terhadap abjek serta pembentukan subjek adalah sebuah pembentukan korban dari apa yang dinamakan hasrat (Kristeva, 1982).

Usaha tersebut tentunya bisa dengan banyak hal: misalkan laki-laki yang memperjuangkan emansipasi perempuan melalui penambahan variabel studi biologi, perubahan arah ekonomi dengan pemanfaatan teknologi dan filsafat, menjungkirkan tatanan bernama negara, aktivis lingkungan yang bekerja sama dengan ahli komunikasi dan sosiologi, dan masih banyak lagi eksperimen sosial yang dicap tak biasa. Tapi, karena background panjang yang ku jelaskan diawal: fase anak-anak hingga remaja perkotaan yang diintervensi dengan internalisasi tidak hanya dengan moral yang baik, tapi dengan pelajaran perihal kehidupan dengan berbagai risiko fenomena sosial yang ada, pelajaran filsafat, budaya, bahkan matematika-logis untuk pengantar pengenalan terhadap pembacaan relasi sosial-ekonomi-politik yang baik bisa menjadi kunci.

Penekanan semisal: Kau tak perlu mengejar untuk memenuhi ongkos belajar yang mahal untuk kembali mengeksploitasi karena keras kepalanya kau demi hasrat pengetahuan yang kau pelajari dan kau ingin muntahkan layaknya Elon Musk atau B.J. Habibie pada dahulu kala.[18][19] Mencerdaskan kehidupan bangsa memerlukan manifesto awal yang kuat: Pendidikan yang ada harus kembali untuk manusia., dan tak melahirkan gelar-gelar akademik namun justru melahirkan sesuatu yang semu.

Alternatif Internalisasi: (Semoga) Pendidikan Merupakan Faktor Perebut Wacana

Manusia menjadi pribadi-pribadi global yang teradopsi akibat diskursus dan wacana sosial yang ada diluar dirinya. (Deleuze dan Guattari, 1984). Sejarah penjinakan terhadap manusia ini berasal dari tingkat paling dasar, semisal keluarga, sekolah, lingkungan hingga ada pada tatanan negara. Agen-agen penjinak dalam konteks Jakarta Undercover ini memiliki segitiga genealogis: ialah kota yang berkelindan dengan relasi sosial-ekonomi-politik dan seksualitas (kemudian memantau, mengotrol, dan membunuh hasrat manusia — viainstitusi sosial beserta tatanan siap mengkodekan dan mengatur aliran asli hasrat).

Kehidupan sosial sudah tekontaminasi dengan proses fiksasi: Semisal contoh, manusia Indonesia harus beragama, namun tak dijelaskan untuk apa beragama, tapi harus seperti itu jika tak ingin mendapatkan risiko sanksi sosial. Anak harus sekolah, namun tak dijelaskan apa manfaat dari pendidikan, yang penting berangkat sekolah saja. Harus menikah dan memiliki anak, demi melanjutkan peradaban, dsb., ataupun semacamnya. Aku coba kembangkan, jika direfleksikan terhadap kondisiku diumur 12 tahun diatas, mengapa preman pasar tersebut berani melakukan tindak kriminal kepada awal anak berumur awal belasan tahun? Mengapa bisanya seorang anak perempuan ditelanjangi (aku tak tahu “sekadar” ditelanjangi, atau bahkan apakah ternyata yang diperbuat lebih)? Mengapa foto syur wanita kota begitu masif? Mengapa kaum gay mencari peruntungan dengan menggoda anak kecil tak bersalah? Apakah anak umur belasan tahun pantas menerima itu? Mengapa buku penguak fenomena sosial sering dianggap tabu?

Lantas, sekolah sepemandanganku tak membawa hal-hal semacam konteks fenomena sosial menjadi suatu rangka Latihan mempersiapkan masyarakat Indonesia. Perdebatan menjadi tak berkelas, bahkan mungkin taka da perdebatan di ruang kelas dalam sekolah. Tidak ada kurikulum kritis kelas di sekolah yang membahas mengapa hal-hal diatas bisa terjadi.

Menguak dan mengurai hal-hal diatas menurutku lebih esensial dibandingkan sekadar melahirkan individu-individu lepas sekolah yang mengeluh frustasi tak melahirkan apa. Bagiku, hal membuat ada usaha serta intensi untuk menjadi apa yang dituju, usaha agar memahami dan mengubah hal merupakan suatu yang lebih baik. Diluar pertentangan apakah manusia dilahirkan sebagai tabula rasa, peran sosial berupa pembentukan individu yang menginternalisasi melalui proses imajinya: yang diawali dengan fantasi, lalu berlanjut dengan memberikan esensi terhadap obyek, dilanjutkan dengan proses akhirnya pemahaman hakikat, dan kemudian setelah melalui semua proses tersebut terlahirlah sebuah pikiran/pemikiran masing-masing individu. Padahal, jika ingin mendobrak status quo ketidakadilan, intevensi lebih jauh perlu dilakukan dan sekolah merupakan tempatnya!

Walau masih skeptis, usaha mencoba bijaksana ini merupakan alternatif: Proses pendidikan merupakan suatu yang menjadi sektor penting proses internalisasi masyarakat. Pendidikan, nyatanya, dengan manifestasi sekolah umum seringkali terpengaruh oleh kepentingan kapital metropolitan (dan peran ini merupakan PR bagi semua yang mengeluh, mengapa dunia ini tidak adil, tidak setara, tidak sesuai yang diinginkan, dsb.). Pendidikan yang hanya mempedulikan pelatihan menciptakan orang yang hanya memiliki skill bekerja (bekerja demi kapital, seringkali), pendidikan yang hanya demi menaikkan status dalam masyarakat, pada akhirnya sebenarnya bercorak untuk melanggengkan, struktur yang tak adil (Freud, 1970). Tanyakan saja, dimana pendidikan yang memperkangkan kesetaraan dalam sistem? Pendidikan yang memberikan dedikasi untuk mereka yang tertindas serta pendidikan yang menekankan terhadap pembelajaran sebagai sebuah manifes aksi dan pembebasan? Tak jauh, sekarang pendidikan (khususnya di Jakarta, tapi tak dipungkiri ditempat lain, semisal penopang kota Jakarta), merupakan pendidikan Banking Education.

Banking Education melahirkan kesemuan dalam ranah intelektualitas. Dimana murid hanya sebagai penabung dan guru yang hanya mengisi tabungan tersebut; melahirkan budaya tak dialektis layaknya Hegel ataupun Ricoeur, dan justru menjadi problem dari segala problem yang disampaikan diatas; Tidak dialektis sudah menjadi kendala utama dari berbagai macam masalah manusia, dan sebenarnya turut buruk dalam melahirkan budaya yang ada di Indonesia. Budaya tak mau berkonflik, atau berkonflik dengan menjual otot, misalnya.

Bukan dalam maksud menihilkan peran guru dimana pun, akan tetapi nyatanya kualitas pendidik di Indonesia masih sangat, patut, wajib, dipertanyakan. Praktek pendidikan tersebut nyatanya tak memiliki kepedulian terhadap proses menjadikan manusia menuju fase kedewasaan; guru main aman karena relasi dia abdi negara dan kalkulasi secara ekonomis, tak mampu mengkritisi realitas sosial yang ada. Kesadaran seharusnya tumbuh dari pergumulan dengan realitas yang dihadapi, dan pada akhirnya diharapkan ada kesadaran akan realitas itu.

Refleksikan kembali, pendidikan yang sekarang ada, anggaplah di Jakarta, Indonesia, atau bahkan di Gadjah Mada saja, apakah sudah berorientasi terhadap nilai-nilai humanisme? Apakah pendidikan sudah mengembalikan manusia terhadap kodrat sebagai pelaku subjek — bukannya penderita objek? Refleksikan terhadap berbagai relasi yang ada di Jakarta, Buku bagus itu, ataupun kita sendiri. Jika ditarik kedalam bacaan ini: Apakah sekolah sudah cukup menginternalisasi secara pendidikan seksual? Atau sekadar pengaturan moral yang diajarkan dengan mantap?

Jadi, kembali kepada argumentasi Lefebvre, bahwa pertarungan mengenai wacana atas kota memiliki kans dapat diperjuangkan sedari internalisasi di dalam pendidikan. Dibandingkan perdebatan dengan kalahnya ke’diri’an terhadap konstruksi sosial dan melahirkan individu yang percuma — sebaiknya coba usaha untuk setidaknya menyadari adanya peran yang dapat bisa direbut via pendidikan.

Epilog

“The realization that life is absurd cannot be an end, but only a beginning.”

-Albert Camus

Aku pribadi, sangat suka memakai apa yang dikatakan Camus. Pandanglah hidup ini secara absurd, sedari awal. Hal ini merupakan suatu kebijaksanaan, agar tak terjerembab di kekecewaan yang mendalam. Kekecewaan akibat kegagalan. Bahwa apa yang sudah kita perjuangkan, apa yang terlah kita rencanakan secara strategi-taktik sering kali gagal karena faktor kebodohan internal, faktor eksternal, dan apapun hal itu. Jadi, usaha Emka berupa menghadirkan gagasan, usaha-ku mengkonstruksi gagasan perihal kota — sosial-ekonomi-politik — seksualitas, usaha kalian memahami hal itu, merupakan manifest ke-absurd-an. Tak ada yang menjamin agar hal itu tak absurd.

Absurditas juga sama seperti ketika kalian memperjuangkan ideologi dengan getol atau kepentingan demi kekuasaan yang bersifat jahat. Merebut kota, belajar giat dan bayar kuliah mahal-mahal di kampus, mengkaji-diskusi dan mencoba menjadi individu yang hyper-dialectics, menjadi demokrat atau oligark, bahkan anarko, apolitis, sesungguhnya merupakan hal absurd. Lahir beragama, percaya terhadap konsep Tuhan, taat ataupun menjadi murtad juga absurd. Membuat proker organisasi dengan kalkulasi dan impian untuk berdampak kepada masyarakat juga hal absurd. Mau membela rakyat atau sekadar demi pengalaman di CV? ABSURD.

Diluar apapun yang serba absurd, tetap yang kutulis diatas merupakan sebuah refleksi untuk mengisi gap, ruang-ruang kosong dan meruntuhkan sekat-sekat ditengah ke-absurd-an itu. Sepatutnya kita paham bahwa apapun ide, kerja, atau hal yang ada merupakan sebuah intensi yang sangat dipengaruhi oleh benak dan anggapan. Tapi jika tetap tak paham? Apakah adil sejak dalam pikiran? Ab… Tak masalah!

Catatan Kecil: MOP, DEMA, Seluruh Kader Organisasi yang Terdampak Corona

DEMA FISIPOL UGM, merupakan tempat untuk kalian bergiat layaknya, organisasi pada umumnya. Budaya berorganisasi, kerjasama, tanggungjawab, mengeksplorasi kemampuan diri, sekaligus mengenal individu-individu lainnya, merupakan suatu yang dapat kalian temukan disini. Sama dengan menemukan diri kalian tak berguna. DEMA, tentunya tidak akan secara praktis membuat karakter manusia di dalamnya secara langsung terbentuk seperti yang diinginkan. Perlu adanya kerja dan usaha (bahkan rezeki dan peruntungan?) agar DEMA dapat menjadi tempat yang dapat menggembirakan. Jika mendapatkan naas mengenaskan, tergantung usaha lebih dalam, tanggap, serta refleksi masing persona agar bangkit untuk belajar. Terkait dengan apa yang kalian perjuangkan serta apa yang kalian nilai — tentunya berbuat kesalahan hal yang tak bisa dipungkiri. Bahkan, mencomot kalimat bernada ala optimisme-absurd — bahwa masih banyak kesalahan yang patut dicoba di masa depan, dan DEMA merupakan tempat yang dapat dimanfaatkan untuk menjajal hal tersebut. Pertentangan dan kesalahan tentunya hal yang wajar, dan patut menjadi suatu yang dimaklumi. Apalagi ditengah pandemi seperti ini, turut berbanggalah kalian untuk bisa tetap bergiat, ditengah mati suri-nya organisasi-organisasi lainnya

Usaha-usaha dari DEMA maupun organisasi lain, sependek pandanganku, terus dicoba dan dibenturkan agar meraih peruntungannya. Ditengah kondisi pandemi seperti ini, selamat dari kegilaan, atau tetap teguh dengan apa yang dicanangkan, ditengah usaha menyeimbangkan logika organisasi yang memerlukan keseimbangan antara pembelajaran, input, output, outcome, serta impact cukup luar biasa. Mengenyeimbangkan hal tersebut tentunya tak mudah, namun bukan berarti mustahil. Walau tak bisa dipungkiri, mood organisasi ditengah pandemi memang sungguh memuakkan. Individu ilang-ilangan, memuakkannya rapat online yang membuat panas mata, program kerja yang dicanangkan awal tahun tak sesuai rencana dan birokrasi yang akhirnya mandeg. Bahkan proker gagal yang dapat menjadi boomerang organisasi?

Khusus untuk bedah buku ini. Aku ingin memberikan catatan: Tak apa berbuat salah, asal kita menyadari bahwa hal tersebut merupakan kesalahan dan menjadi pembelajaran. Beberapa bulan berlalu hingga tulisan yang aku buat ini kuputuskan (mungkin) menjadi akhir dari program kerja bedah buku kita. Aku pikir pada awalnya, dapat menjadi pembuka ruang diskusi antara kita, deliberasi secara dialektis sesuai dengan cara favorit yang kita bawa untuk menangani program kerja seperti biasa, merupakan hal yang ternyata pada akhirnya mentok (dan maaf jika pada akhirnya ada sedikit semangat otoritatif, untuk meng-handle program kerja ini). Autokritik kepadaku adalah tak dapat mengatur dan me-manage organisasi hingga ada program kerja yang tertinggal, yakni bedah buku ini. Dua buku, dengan judul Jakarta Undercover oleh Moammar Emk dan Timor Timur: Sebuah Memoar oleh Naldo Rei,sejauh ini tak berjalan sesuai rencana, walau diinisiasi sejak tengah tahun hingga menjelang akhir kepengurusan. Maafkan aku.

Aku mau mengulangi hal yang sudah kita bicarakan di internal kita, namun mungkin divisi di dalam DEMA, publik fisipol, atau bahkan luar sana belum tahu. Kontrovesial review kacangan yang memang sengaja kami buat, sebagai upaya strategi-taktik agar bedah buku ini viral, ditengah lesunya geliat organisasi dan diskusi yang ada. Namun, kalkulasi kami salah: justru menjadi boomerang karena kami tak sadar:

1. Apa yang mau kami hadirkan sebagai output: konsol, podcast, beraliansi, diskusi, propaganda, dsb tidak imbang dengan SDM yang kami punya. Berdampak pada kualitas konten yang sangat patut dipertanyakan, fatal menjadi sebuah kesalahan.

2. Kami berisikan mono-identitas (laki-laki semua!), yang berdampak dengan konten male-gaze, sedangkan buku Jakarta Undercover sangat rentan untuk di kritik karena berisi lintas perspektif dan identitas — akibatnya, persepsi dan kenyataan berjalan serupa: kacamata yang dapat diambil melihat buku ini berpotensi menjadi sangat miskin.

Ditambah kendala teknis birokrasi organisasi di tengah pandemi, kesalahan fatal ini semakin semerbak karena kami justru kelabakan dengan program-program lainnya. Konten-konten propaganda, serta inisiasi aksi yang ada ditengah sifat divisi kami yang organik. Semakin menghantam kami dan berakibat fatal pada proker ini yang keburu menjadi basi.

Namun, aku coba ingatkan. Sesuatu yang paling vital adalah, jangan mengulangi kesalahan yang sama — serta, cobalah jenis kesalahan-kesalahan lain yang masih ada di depan mata!

Penutup Catatan

Diskusi secara lisan atau bermain dengan tulisan merupakan suatu hal yang patut terselenggara dan membudaya. Namun, terlepas kondisi lagi pandemi, aku rasa hal itu sudah memudar di DEMA sejak lama. Walau masih ada semangat untuk tetap menjaga hal tersebut. Bahkan MOP, dialektika yang lahir seharusnya memengaruhi opini publik bahkan aku kira sudah sangat patut dipertanyakan apakah ada relevansinya? Bukan sebuah hal paradoksal, mengingat MOP sebagai sebuah divisi memang tempat untuk belajar, sama seperti organisasi lainnya. Kita berada ditengah-tengah penyeimbangan antara manfaat untuk diri kita, serta manfaat untuk khalayak dengan kapabilitas dan juga kapasitas dan kapabilitas sumber daya

Catatan mini dan momentum ini coba kuselipkan untuk teman-teman terutama angkatan baru 2020, dan segala kader organisasi yang mandeg secara kerja, kader DEMA, bahkan khususnya untuk kalian bergiat di MOP. Tulisan ini ku anggap sebagai pemicu untuk tetaplah hidup bergiat kesana-kemari (apalagi ditengah pandemik), coba bekerjalah dan maknai pekerjaanmu, Contoh kerja itu ialah satu: menulis kritik kebobrokan dan kecacatan logika yang kuharapkan ada di antara baris kata. Tak usah segan dengan aku yang mulai menua, dan berani untuk menjadi parrhesia!

Salam kasih untuk kalian, dan salam sukses untuk kita semua, tetaplah hidup walau (tak) berguna!

Andi Isyraqi Ramadhan

Referensi:

· Barthes, Roland. 1977. The Death of Author. Fontana.

· Britzman, Deborah P. 2011. Freud and Education.

· Camus, Albert. 1945. The Myth of Sisyphus. Hamilton

· Deleuze, G and Guattari, F. 1984. Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, terj. R. Hurley, M. Seem dan H. Lane. London: Athlone Press

· Føllesdal, Dagfinn. 1990. Noema and Meaning in Husserl. Phenomenology and Philosophical Research.

· Foucault, Michel. 2004. The Archeology of Knowledge. London: Routledge.

· Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. Pantheon Books

· Gusmao, Martinho G. 2013. Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang Mengagungkan Tradisi. Kanisius.

· Harris, Malvin. 1974 Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture.

· Joesoef, Daoed. 2014. Studi Strategi. Penerbit Tempo.

· Kristeva, Julia. 1982. Powers of Horror: An Essay on Abjetion. Columbia Uiversity Press.

· Lefebvre, Henri. 2000. The Production of Space. Georgetown University Press: NY

· Moammar Emka. 2005. Jakarta Undercover. Gagas Media

· Mulyanto, Dede. 2019. Rosa Luxemburg: Sosialisme dan Demokrasi. Marjin Kiri

· Polimpung, Hizkia Y. 2016. Tentang Jam Tidur, Jam Begadang, dan Malam Mingguan Para Borjuis Mini. Indoprogress.

· Riyanto, Geger. 2018 Elon Musk dan Kapitalisme Berwajah Tony Stark. Indoprogress.

· Rorty, Richard. 1989. Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge.

· Sciortino, R. 1999. The Mortality and Economics of Prostitution in Indonesia. Filipina: Mahidol University.

· Snijders, Adelbert. 2019. Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan: Kanisius, Yogyakarta

· Taufiqurrohman, M. 2019. Frantz Fanon. Kebudayaan dan Kekuasaaan. Resist Book

Virilio, Paul. 1986. War and Cinema: The Logistics of Perception.

[1] Hal ini dikarenakan, kedua belah pihak masih di level umur anak-anak, sehingga keduanya merupakan korban dari struktur dan kultur yang ada.

[2] Jika intro mengenai kehidupan Jakarta terlalu panjang, itu merupakan usaha selain menggambarkan konteks individu maupun kondisi lingkungan; juga sekaligus spill perihal kehidupan Jakarta yang sering kawan-kawanku tertarik untuk dengar.

[3] Jika ditelisik, seksualitas merupakan suatu hal biologis yang bersifat “menyenangkan”, sehingga sering kali menjadi tempat untuk refreshing melepaskan penat. Baca Harris, Malvin. Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture

[4] Saya kira, masih ada gap antara pandangan Foucault terhadap Fenomenologi dan Hermeneutika. Namun, karena bersifat kajian filosofis, saya akan mengkajinya dilain hari, di medium yang berbeda.

[5] Fenomenologi merupakan ilmu yang mengkaji sebuah fenomena, berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubyektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain). (Kuswarno,2009:2). Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengelaman-pengelamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengelaman pribadinya (Littlejohn, 2009:57).

[6] Hermeneutika merupakan ilmu mengenai penafsiran.

[7] Mungkin menjadi sebuah problem karena pembacaan fenomenologi serta hermeneutika merupakan suatu hal asing di lingkungan ilmu sosial (kecuali mungkin mengenai filsafat, filologi, ataupun yang berkaitan erat terhadap bahasa.)

[8] Aku mencoba bertaruh, apakah secara metodologi aku benar secara pemakaiannya, atau tidak. Ini semua merupakan pembelajaraan secara otodidak. Kritik balasan mohon diajukan.

[9] Arkeologi dimaksudkan penyingkapan berbagai model dan sistem pemikiran dari sejarah dalam konteks tertentu, berusaha menyingkap unsur tersembunti serta terdalam dari episteme. Intepretasi dari “Archaeology defines the rules of formation of a group of statements. In this way it shows how a succession of events may, in the same order in which it is presented, become an object of discourse, be recorded, described, explained, elaborated into concepts, and provide the opportunity for a theoretical choice (Foucault, 2004: 128). Secara praktis, aku memakainya seperti ini:

Seseorang menganggap kenikmatan seksualitas itu terdiri dari penis, vagina, fantasi, hasrat, mata, dikarenakan tanpa adanya hal-hal itu tidak akan terjadi kenikmatan seksualitas.

[10] Genealogi usaha untuk menguak asal-usul serta silisilah perkembangannya, sistem dan model pemikiran dalam sejarah, “Genealogy is gray, meticulous, and patiently documentary. It operates on a field of entangled and confused parchments, on documents that have been scratched over and recopied many times… Genealogy, consequently, requires patience and acknowledge of details and it depends on a vast accumulation of source material. Its ‘cyclopean monuments’ are constructed from ‘discreet and apparently insignificant truths and according to a rigorous method’; they cannot be the product of ‘large and well- meaning errors’. In short, genealogy demands relentless erudition. Genealogy does not oppose itself to history as the lofty and profound gaze of the philosopher might compare to the molelike perspective of the scholar; on the contrary, it rejects the meta-historical deployment of ideal significations and indefinite teleologies. It opposes itself to the search for ‘origins’ (Foucault, 1977: 139–140). Praktisnya kukira sebagai berikut: Seorang menganggap penis dan vagina merupakan komponen penting kenikmatan seksualitas dikarenakan dirinya menganggap seksualitas merupakan hubungan antara laki-laki dan perempuan saja, jika penis bertemu penis, itu bukan kenikmatan seksualitas, dengan bukti empirik bahwa dirinya sudah membuktikan kenikmatan dari hubungan tersebut.

[11] Tentunya, pengalaman dan anggapan seksualitas yang berbeda dipersilakan. Pelacakan secara pengetahuan lain juga turut dipersilakan.

[12] Aku tidak tahu bagaimana eksplorasi seksual dari pandangan perempuan terhadap laki-laki. Jauh ebih baik, jika ada yang mengisi gap ini di kemudian hari.

[13] Mitologi Sisyphus ada dalam bacaan salah satu bacaan idola saya Albert Camus, merupakan salah satu analogi yang paling saya suka untuk dipakai sekarang-sekarang ini. Silakan cari sendiri jika ingin tahu lebih lanjut!

[14] Aku beranggapan bahwa prostitusi sejauh ini tak dapat bisa dihilangkan dari muka bumi; karena secara biologis pun sosiologis, manusia membutuhkan pemenuhan kebutuhan seksual. Walau memiliki dampak negatif semisal penyakit HIV/AIDS, namun hal tersebut dapat dilakukan secara preventif dengan peran pemerintah ataupun serikat pekerja dalam mengecekan kesehatan rutin, dsb. Akan tetapi, kembali lagi peran kekuasaan sangat vital.

[15] Seperti contoh, viralnya penutupan Hotel Alexis. Padahal Blok M, Kawasan Kota, Taman Lawang Manggarai-Menteng, dan masih banyak lagi tempat prostitusi yang tak ditutup. Aku ingin menganalogikannya sama seperti berita konyol yang karena bekerja persis dengan logika kerja KPK: memberantas satu dari “ribuan” masalah yang ada, namun, semakin tahun masalah tak kunjung usai, malah justru berlipat ganda.

[16] Sederhananya, kelas borjuis mini berbeda dengan kelas borjuis gemuk dalam hal kepemilikan, akses, dan otonomi terhadap modal. Seperti namanya, borjuis mini memiliki modal yang hanya sedikit, sementara borjuis gemuk, banyak; borjuis mini memiliki akses yang relatif lebih sempit dan sesak dibanding borjuis gemuk; dan akhirnya borjuis mini tidak cukup memiliki otonomi untuk dengan leluasa mengalokasikan modal-modalnya [tenaga, uang, pengetahuan, keahlian, dst.] dibandingkan borjuis gemuk yang relatif seenak-jidatnya sendiri. Diambil dari Hizkia Yosie Polimpung. 2016. Tentang Jam Tidur, Jam Begadang, dan Malam Mingguan Para Borjuis Mini. 2016. Web Indoprogress.

[17] Dia saya hormati karena, menawarkan xenodisipliner: usaha untuk menguasai berbagai bidang ilmu dan pengetahuan untuk dapat menyelesaikan masalah dunia

[18] “Dan kalau ada yang percaya Mas Elon tak akan melakukan totalisasi semacam ini karena ia adalah insan dengan visi nan mulia, pikir lagi. Ia sudah berkali-kali menunjukkan gelagat totaliter menghadapi hal-hal sepele yang bersangkutan dengan citranya. Siapa yang akan menjamin Mas Elon tidak akan menjadi monster yang jauh lebih mengancam bila ia benar-benar dapat menjangkau dan mengontrol semuanya?” Disadur dari Riyanto, Geger. Elon Musk dan Kapitalisme Berwajah Tony Stark. Indoprogress. Bayangkan, kepintaran Elon Musk, Zuckenberg, dan orang-orang semacam itu yang memang ada dampaknya terhadap dunia — tapi tetap mereka kaya sendiri: sedangkan apa dampaknya bagi kita manusia?

[19] Biografi Politik B.J. Habibie: Dari Malari hingga Reformasi: Relasi sosial-ekonomi-politik antara Soeharto-Habibie memerlukan biaya besar demi memuaskan pengetahuan sang insinyur. Industri pesawat yang sebenarnya dapat diperdebatkan apakah berguna pada konteks itu. Ini berkaitan dengan bacaan buku Studi Strategi karya Daoed Joesoef : bahwa seharunya yang dibangun adalah ke-maritiman; bukan penerbangan

--

--