Kritik Terhadap Kultur Demokrasi Keorganisasian dan Kampus FISIPOL UGM

Isyraqi Ramadhan
7 min readMay 5, 2020

--

(Merupakan Tulisan Tugas Final Pengantar Studi Demokrasi HI UGM 2019)

“Kalau mahasiswa FISIPOL tidak boleh kritis; tutup saja FISIPOL.”

-Erwan Agus P., Dekan FISIPOL UGM-

FISIPOL UGM sebagai fakultas yang mempelajari bidang sosial-politik, dimana demokrasi menjadi salah satu hal yang dipelajari, dan patut menjadi sesuatu urgensi untuk dipahami. Nyatanya, keadaan yang ada di FISIPOL UGM cukup menjadi paradoks — penekanan ini ada dalam implementasi demokrasi organisasi mahasiswa KM FISIPOL UGM. Entah apa memang salah dari sistem yang dinamakan demokrasi, namun demokrasi di kampus impian saya kira cukup menimbulkan banyak masalah dalam kultur serta praktik keorganisasiannya. Apa yang menjadi masalah tersebut ialah semisal pelanggaran atas aturan yang disepakati sehingga terlalu banyak kompromi, gimmick antara pemegang otoritas yang bertentangan terhadap janji yang diberikan, tidak dapat menempatkan konteks permasalahan, gairah organisasi yang rendah dan sepi, rapat yang tidak representatif karena tidak adanya rasa tanggungjawab diantara pengurus untuk datang, dan mengakibatkan aspek political yang terlalu banyak dan runyam membuat aspek politics menjadi kurang.[1]

Perihal organisasi kemahasiswaan, Keluarga Mahasiswa FISIPOL UGM (KM FISIPOL UGM) merupakan sebuah struktur organisasi tempat mahasiswa FISIPOL UGM berkegiatan dan belajar, dimana terdiri dari anggota berupa seluruh mahasiswa FISIPOL UGM dan keorganisasian yang ada di FISIPOL UGM yakni Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF), dan pengurus yang terdiri atas dua Lembaga yakni Dewan Mahasiswa (DEMA) sebagai eksekutif dan Majelis Mahasiswa (MM) sebagai legislatif. Jika dibandingkan dengan struktur organisasi kemahasiswaan yang berbentuk student government lain, dapat dikatakan bahwa KM FISIPOL UGM memiliki struktur yang unik dan jarang. Kolektif kolegial sebagai sebuah bentuk dari DEMA yang memiliki pimpinan dari 6 departemen yang berbeda; dimana berusaha untuk merepresentasikan identitas dari departemen satu sama lain (Semisal Ilmu Hubungan Internasional, Ilmu Komunikasi, etc). Arah gerak semisal pemberdayaan, jaringan, pengabdian, maupun pergerakan diatur dan dirembug oleh keenam pimpinan tersebut — sebagai manifestasi agar bisa mengartikulasikan kepentingan sosial-politik anggota KM FISIPOL UGM. Struktur kolektif kolegial sendiri memang berpotensi menghambat kinerja organisasi karena tidak ada pemimpin tunggal dalam organisasi.

Sementara MM terbentuk dari 18 perwakilan yang berisi dari HMD/UKMF– yang juga berkedudukan setara — 18 perwakilan ini berfungsi untuk menyaring aspirasi, sebagai mediator, serta mengawasi dan mengevaluasi kerja dari DEMA.[2] secara idea seharusnya keterwakilan pengurus tersebut harus memiliki karakter yakni pengetahuan yang memadai mengenai kondisi dan politik secara umum, tentang peran dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Peran sebagai legislatif yang kritis dalam mengkritik, negosiasi, mengatur rumusan aturan terbaik, pada marwahnya seharusnya ada dalam lembaga ini

Demokrasi keterwakilan yang sebenarnya berfungsi agar KM FISIPOL UGM dapat menjadi wadah belajar, berorganisasi, dan keberpihakan, dengan anggota MM sebagai perwakilan HMD/UKMF agar meneruskan aspirasi dan dijalankan oleh DEMA yang diwakilkan oleh 6 departemen, tidak berjalan mulus dan banyak menemui kendala. Sistem demokrasi keterwakilan dengan berbagai bentuk struktur dan kultur dari masing-masing HMD/UKMF maupun departemen, pula dengan karakter wakil dari setiap organisasi, membuat dialektika yang terjadi di KM FISIPOL UGM sendiri terkadang diisi akan pergulatan. Perwakilan yang memiliki karakter yang plural serta kemampuan pengambilan keputusan, rasio, dan idea yang berbeda pada akhirnya memengaruhi pengambilan keputusan yang berdampak terhadap tingkat analisis keputusan — pun juga waktu pengambilan keputusan yang harus dikonsepkan ulang karena banyaknya berbagai penyesuaian.

Satu permasalahan dalam KM FISIPOL UGM, opini saya mengatakan bahwa tidak ada standard mengenai syarat menjadi pengurus. Syarat dimana kultur politik partisipan sebagai kultur yang paling baik belum bisa dipahami oleh para pengurus yang bergiat dan mengabdi. Padahal demokrasi harus membangun kapasitas serta kapabilitas dari masyarakatnya. Jika dimasukkan dalam kerangka kampus FISIPOL UGM dan organisasi KM FISIPOL UGM, seharusnya demokrasi lebih produktif, dikarenakan ilmu pengetahuan serta kultur kebebasan yang ada dalam lingkungan kampus, dapat mengedukasi masyarakatnya agar bisa berdemokrasi dengan pendapat dan juga dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya.[3].

Almond dan Verba menyampaikan bahwa aspek kultural patut dipertimbangkan sebagai cara untuk memahami proses demokrasi yang ada di suatu wilayah. Aspek kultural diperlukan dikarenakan sistem politik yang dijalankan seharusnya berkaca terhadap budaya politik yang ada dalam masyarakat yang terdiri atas individu-individu dan komunitas-komunitas kecil. Budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat lalu akan memengaruhi bagaimana proses penjaringan aspirasi serta tuntutan yang ada dalam masyarakat, dan itu akan berdampak terhadap eksekusi serta respons yang akan dilakukan dalam keputusan politik semisal produksi hukum dan kebijakan. [4]

Makna kultur politik yang menjadi dasar setiap individu atau komunitas dalam berpolitik, berkorelasi terhadap realitas dan langkah politik yang juga akan dilakukan. Dibagi menjadi tiga definisi berupa parokial, subyek, dan partisipan; definisi yang pertama yakni kultur politik parokial, dapat dimaksudkan dengan kultur orientasi politik yang bersifat kognitif. Karakter dari kultur ini dipengaruhi dari aspek-aspek seperti memengaruhi dengan menghimpun solidaritas dan mobilisasi. Biasanya aktor ini hanya berperan tunggal untuk menjadi aktor demokrasi. Kemudian adalah budaya politik subyek dapat dikatakan bersifat afektif, memiliki arti bahwa kultur politik ini dalam implementasi merasakan bahwa sistem politik yang ada sudah baik, atau pun jika merasa politik yang ada tidaklah baik, kalangan ini mengambil sikap menerima saja apa yang ada dalam budaya politiknya, tidak peduli, dan tidak ada keinginan maupun usaha untuk mengubah budaya/sistem politik tersebut.

Lalu, yang dimaksud dengan partisipan yakni rasa sadar individu atau masyarakat sebagai aktor politik untuk berpartisipasi aktif — dengan memberikan evaluasi terhadap proses politik. Langkah lebih jauh dilakukan kultur ini diakibatkan berani untuk bertindak lebih jauh dalam demokrasi serta politik, minimal dalam tahap kritik, atau bahkan dapat bertindak lebih jauh semisal membuat agenda dan merebut jabatan-jabatan politik/publik. Jika disambungkan kepada kultur kehidupan di kampus FISIPOL UGM, saya mengasumsikan bahwa mayoritas publik FISIPOL berkultur subyek, dan hanya segelintir menganut kultur partisipan. Saya menambahkan bahwa permasalahan utama yang menjadikan saya mengkritisi kultur kehidupan keorganisasian maupun kampus FISIPOL UGM: Demokrasi yang terlalu bebas.

Menyambung dalam buku How Democracies Die, beberapa indikator yang menyebabkan demokrasi menurun yakni: demokrasi yang tidak menghasilkan apa-apa bagi masyarakatnya, juga demokrasi yang tidak menghargai hak-hak masyarakatnya. Dikatakan juga, bahwa tidak ada demokrasi yang bersifat 100 persen, yang dimaksudkan bahwa dalam kehidupan demokrasi sendiri juga pasti ada hal-hal yang menjadi aturan agar masyarakat yang plural dan memiliki identitas yang berbeda tidak bisa sembarangan dalam melakukan praktik demokrasinya. Seperti contoh, masyarakat tidak bisa sangat bebas dalam mengatakan sesuatu dalam ruang publik; dan hal ini diatur dalam peraturan-peraturan semisal hukum.[5]

Saya mengaitkan dengan menuntut FISIPOL UGM harus bertanggung jawab. Seluruh mahasiswa/i sedari awal masuk sangat dibebaskan untuk mencari tahu ilmu dan pengetahuan, organisasi apa yang dapat menjadi tempat bernaung terbaik, sehingga dengan hal ini, ditambah dengan begitu banyaknya organisasi yang ada dalam keanggotaan KM FISIPOL UGM, mahasiswa/i dibiarkan untuk mencari tahu seluas-luasnya atau bahkan sebanyak-banyaknya. Terkesan sebuah nilai plus dimana hal baik berupa keleluasaan mahasiswa/i untuk eksplorasi sendiri, tanpa ada paksaan apapun dari otoritas atau hierarki yang lebih atas. Sisi buruknya adalah tidak ada bimbingan lebih dari pihak FISIPOL UGM dalam membina agar mahasiswa/i dapat menemukan diri terbaiknya di organisasi-organisasi tersebut.

Pihak kampus pasca PPSMB SOCIETY (ospek level fakultas) tidak memiliki program atau regulasi pembinaan lebih jauh mengenai karakter serta pendidikan kultur, pelatihan tanggungjawab, dan tata cara organisasi mahasiswa/i FISIPOL UGM. Dan hal-hal dasar tersebut sangat berkaitan dengan kualitas individu menghadapi demokrasi — produksi pengetahuan dan rasionalitas komitmen dan tanggung jawab, Akan percuma jika kampus dan organisasi kemahasiswaan terus menerus memproduksi kultur demokrasi dalam kehidupan kampus yang tidak sehat

Mahasiswa/i yang baru masuk kuliah di FISIPOL UGM datang dari jenjang dan berbagai kultur yang berbeda, dan bagi saya hal tersebut yang membuat dampak kehidupan keorganisasian mahasiswa FISIPOL UGM begitu riuh secara political, tapi minim terhadap politics. Hal tersebut berdampak terhadap: (1) Tidak adanya pengertian antar departemen untuk mengirimkan pimpinan yang tepat sesuai komposisi kapablitas dalam DEMA, (2) Keterbatasan kuantitas anggota HMD/UKMF untuk mengirimkan perwakilan sebagai pengurus MM yang berkapabilitas.

Pengalaman empiris saya sebagai pengurus KM FISIPOL UGM, saya menghadapi banyak organisasi dalam manifestasi HMD/UKMF yang tidak memiliki program kerja, FISIPOL UGM pula juga tidak memiliki regulasi untuk mengevaluasi HMD/UKMF yang tidak produktif secara keorganisasian. Kemudian ada kejomplangan antar jumlah kuantitas anggota dimana organisasi ada yang berjumlah hanya 10 anggota, dan ada yang berjumlah hamper 200 anggota. FISIPOL UGM tetap tidak peduli, asal ada usulan program kerja yang banyak HMD/UKMF copy paste setiap tahun, alur dana akan tetap turun walau via uang matriks yang diberikan juga tidak mempunyai kejelasan.

Segala permasalahan di FISIPOL UGM mengenai kultur dan struktur dapat yang ada dapat diperbaiki dengan: partisipasi dari masyarakat FISIPOL UGM sebagai masyarakat dengan demokrasi dengan kultur partisipan, yang tidak hanya mengandalkan kebebasan saja. Dengan argumentasi saya yang mengatakan bahwa FISIPOL UGM seharusnya sudah mendukung secara produksi pengetahuan, seharusnya individu-individu dalam masyarakat tersebut dapat mengubah dengan cara mengurai terlebih dahulu dan mencari solusi berbagai masalah yang ada. Masalah-masalah semisal struktur organisasi yang gemuk, pembuatan medium hukum dan kebijakan yang sesuai dengan konteks kultur dan sosial, lingkungan yang kritis dan dialektis, kreatifitas dan inovasi yang disertai tanggung jawab, komunikatif dan responsif, saya kira sangat diperlukan oleh kalangan-kalangan yang bergiat dalam keorganisasian KM FISIPOL UGM. Hal ini agar kultur baik yang dibawa dapat mengubah struktur, cepat atau pun perlahan, agar kultur dan keorganisasian FISIPOL UGM dapat berjalan lebih baik.

Daftar Pustaka:

[1] Rady, Djohan. Im/posibilitas Sebagai Elan Vital Politik: Supaya Upaya Revitalisasi Dimensi Politikal di Era Teleologisme Sejarah dan Relativisme Nilai. Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pp 36–47.

[2] AD/ART KM FISIPOL UGM 2020

[3] Dahl, Robert A, Shapiro, Ian, and Cheibub, Jose Antonio. 2003. The Democracy Sourcebook. MIT Press. Pp 1–48.

[4] Almond, Gabriel A. and Verba, Sidney. 1989. The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Sage Publications. Pp 337–374.

[5] Levitsky Steven and Ziblatt, Daniel. 2018. How Democracies Die. Crown Publisher.

--

--