Kekerasan dalam Sepakbola: Manifestasi Identitas Catalunya dan Spanyol dalam Rivalitas FC Barcelona dan Real Madrid

Isyraqi Ramadhan
6 min readMay 5, 2020

--

(Tulisan ini merupakan Tugas Final Mata Kuliah Konflik Etnik HI UGM 2019)

Sepak bola, sebagai salah satu olahraga terpopuler di dunia, menyuguhkan pertandingan yang menghibur dan bahkan menumbuhkan euforia bagi para pendukungnya, terlebih para pendukung fanatik. Lebih dari itu, sepak bola juga memberikan ruang bagi para pendukung untuk mendefinisikan siapa dirinya.[1] Bagi banyak kalangan, sepakbola dijadikan sebuah simbol identitas. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa rivalitas antar tim sepakbola seringkali berangkat dari identitas yang berbeda — bahkan banyak sekali tim sepakbola papan utama di dunia yang dibentuk akibat perbedaan identitas diantara masyarakat.

Banyak contoh tim sepakbola yang menjadi rival dikarenakan latar belakang identitas mereka. Seperti contoh, Derby Della Capitale di Italia, antara SS Lazio vs AS Roma, dua tim yang berbasis di Roma dan berbagi stadion yang sama, yang berebut perbedaan atas paham ide yang berbeda. SS Lazio dikenal dengan pendukungnya yang berpaham ultra kanan, berasal dari masyarakat pinggiran kota dengan taraf ekonomi menengah keatas, sedangkan pendukung Roma adalah pekerja buruh kelas menengah berpaham politik kiri yang tinggal di perkotaan.[2] Lalu ada Partizan Belgrade vs Red Star Belgrade. Pertandingan diantara dua tim ibukota Serbia, dan diakui oleh fans sepakbola di seluruh dunia bahwa pertandingan dua tim ini ialah yang paling brutal, yang penuh dengan kekerasan dan kehancuran fasilitas fisik stadion. Partizan identik dengan tentara yang dibentuknya didukung oleh angkatan darat Yugoslavia dahulu kala sementara Red Star lebih didukung dan dibangun oleh masyarakat sipil.[3] Juga di Skotlandia, antara Glasgow Ranger versus Glasgow Celtic. Ranger, merupakan klub kaum Protestan yang konservatif, sedangkan Celtic adalah klub Katolik yang mendapat pendukung terbesar dari kaum Sosialis, Republikan, dan Nasionalis.[4] Dalam kasus tulisan ini, saya ingin membawa salah satu konflik antar supporter sepakbola dari Real Madrid FC yang membawa identitas Spanyol dengan FC Barcelona yang membawa identitas Catalunya,

Spanyol dan Catalunya — Real Madrid dan FCBarcelona

Spanyol, sebagai negara tempat kedua tim raksasa tersebut bernaung merupakan Negara yang terbagi atas beberapa etnis, yakni Castilian, Basque, Galician, serta Catalan/Catalunya. Sebagai Negara yang terdiri atas beberapa bangsa tersebut; serta diiringi faktor-faktor ekonomi dan geografis, pergolakan mengenai rasa nasionalisme merupakan hal yang menjadi lumrah. Spanyol adalah negara multietnis yang bisa diketahui dari pembagian provinsi di negara ini. Hampir sebagian besar provinsinya terdiri dari otonomi daerah (otonomi daerah) karena memiliki kekhasan masing-masing. Jika ditilik pada sejarahnya, dan dihubungkan dengan konflik antara suporter kedua tim, keinginan Catalunya untuk melepaskan diri dari pemerintahan Spanyol muncul akibat konflik terdahulu, yang terjadi karena adanya perang saudara yang terjadi di tanah Spanyol antara tahun 1936 sampai 1939.[5] Konflik ini melibatkan kubu republikan atau kubu yang pro-reformasi pasca tumbangnya Kerajaan Spanyol (mayoritasnya dari golongan komunis, liberalis, dan anarkis) melawan kubu nasionalis Spanyol atau kubu anti-reformasi (mayoritasnya dari golongan militer senior, kerajaan, dan Gereja Katolik). Konflik semakin memuncak ketika era diktator Franco, pasukan tentara membunuh presiden klub FC Barcelona pada tahun 1936, dan klub dipaksa untuk mengubah namanya dari bahasa Catalunya ke versi Spanyol. Sementara Real Madrid diidentifikasi sebagai simbol rezim pada saat itu. FC Barcelona diletakkan sebagai simbol anti fasis. Di bawah pemerintahan Franco, orang-orang tidak bisa berteriak sesuka hati “Long Live Catalan!” Tetapi mereka bisa berteriak ‘Long Live Barca!’. Ini menjadi simbol perlawanan masyarakat Catalunya terhadap pemerintahan yang menindas bagi mereka — dimana unsur politik antara Spanyol versus Catalunya semakin kental pasca fenomena ini.[6]

Kedua tim sepakbola ini merepresentasikan semangat dari dua nasionalisme yang berbeda. Real Madrid yang berdomisili di Ibukota dianggap merepresentasikan nasionalisme Spanyol — sedangkan FC Barcelona merepresentasikan semangat etnis Catalunya. Menarik untuk diangkat ketika argumentasi antara penduduk Catalunya yang termanifestasi dalam supporter FC Barcelona. Setiap pertandingan El Clasico (sebutan pertandingan derby kedua tim tersebut) digelar di Camp Nou (kandang FC Barcelona), puluhan ribu suporter FC Barcelona membuat mozaik raksasa dari kertas di stadion dengan warna utama merah, kuning, dan biru (bendera Catalunya) yang mengekspresikan kebanggan atas identitas Catalunya. Tulisan-tulisan semangat nasionalisme Catalunya terpampang jelas ketika tulisan “Welcome to the Catalan Republic” seringkali muncul ketika pertandingan derby. Secara resmi, FC Barcelona mengatakan akan ‘terus mendukung keinginan mayoritas rakyat Catalunya’ menyusul referendum yang dilakukan 2017 tentang kemerdekaan dari Spanyol.[7] Sementara, ketika pertandingan ini dilaksanakan di kandang Real Madrid, Stadion Santiago Bernabeu, semangat nasionalisme Spanyol tergambarkan dengan yel-yel yang menyanyikan semangat anti-Catalunya, seringkali yel-yel bernada rasis dinyanyikan kedua fans tersebut,[8] Bahkan, pertarungan dan pemukulan yang dilakukan masing-masing kedua fans pun terjadi.[9]

Sebenarnya, ada pertentangan wacana diantara rasa etnisitas Catalunya dengan rasa kebangsaan yang coba dimanifestasikan pemerintah Spanyol. Jack Synder, menjelaskan bahwa tidak semua satu etnis memiliki keadaan satu bangsa; dan tidak semua satu bangsa berisikan satu etnis. Negara-negara di dunia, banyak yang berbentuk seetnis dan sebangsa (seperti banyak negara pecahan Yugoslavia), pun juga ada negara-negara yang mengatasnamakan dirinya satu bangsa walau berbeda etnisitas (dalam konteks ini Spanyol).[10] Catalunya sendiri, pada tahun 2017, melakukan referendum untuk merdeka, dengan total 92% dari penduduk Catalunya menginginkan mereka untuk berdiri sebagai negara sendiri.[11] Namun, tentunya sebagai negara berdaulat, Spanyol menganggap bahwa referendum yang dilakukan oleh pihak Catalunya tidaklah valid dan resmi.

Pendekatan yang koheren dalam konflik etnisitas antara Spanyol dan Catalunya ini saya kira dapat dianalisis pula dengan pendekatan etnisitas konstruktivisme. Perspektif ini berusaha menjembatani antara pendekatan primordialisme dan instrumentalisme.[12] Primordialisme, yang mengatakan bahwa sifat identitas berbasis etnisitas yang berbeda pula dengan identitas yang berbasis ideologi menjadi faktor penting mengapa konflik etnik terus terjadi dan menjadi lebih sulit untuk diakhiri, terjadi dalam kasus Catalunya dan Spanyol ini,[13] dimana mempercayai bahwa identitas etnik telah ditetapkan sejak lahir, dan tumbuh bersama memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks, manakala batasan-batasan simbolik terus-menerus membangun dan dibangun oleh sejarah, dari bahasa dan pengalaman masa lampau, yang bersumber dari cerita nenek moyang, dan ikatan-ikatan kultural. Dimana manusia menyadari identitas dirinya secara otomatis. Dalam pendekatan ini para kelompok-kelompok etnis bukan semata-mata kategori sosial melainkan merupakan sebuah kesadaran kultural.[14]

Selain masalah pembawaan identitas sedari lahir, pula perspektif instrumentalis mengatakan bahwa pelanggengan antara konflik dan kekerasan, yang bersumber terhadap ekonomi dan politik[15] Konteks ketegangan etnis antar Catalunya dan Spanyol, peran Catalunya menjadi penting dikarenakan ekonomi yang dimiliki Catalunya bisa dikatakan kuat, dan memengaruhi kekuatan ekonomi Spanyol. Alasan utama yang menahan Spanyol agar tidak membiarkan Catalunya merdeka ialah karena Catalunya merupakan wilayah paling kaya yang dimiliki oleh Spanyol, dan menjadi sumber utama pemasukan negara tersebut. Setidaknya, 20 persen dari total pemasukan yang didapat dari Spanyol berasal dari Catalunya.[16] Catalunya, dengan mengelola ekonominya sendiri, berharap akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar sehingga memilih untuk menjadi negara independen dan tidak terikat dengan negara asalnya.

Dalam era modern sekarang, pendekatan konstruktivis dapat dikatakan paling relevan dikarenakan berbagai macam variabel telah tergabung dalam suatu permasalahan di masyarakat, termasuk dalam permasalahan konflik etnis. Konflik identitas etnis yang termanifestasikan dalam FC Barcelona sebagai Catalunya dan Real Madrid sebagai Spanyol yang memiliki kondisi kompleks yang tercampur antara faktor sejarah budaya, geografi, ekonomi, serta kondisi sosial yang terkonstruksi, dimana identitas atau atribut yang melekat dan terlihat dari masing-masing grup yang berkonflik. Identitas seperti budaya, bahasa, dan agama sangat sulit diubah dan dalam transisi ini diperbaiki integrasi masing-masing kelompok.[17] Sebagai simbol, apa yang ditunjukkan klub sepakbola dari kedua identitas tersebut, pula dengan kondisi sosial-politik yang ada dalam interaksi mereka, semakin menyulitkan upaya dalam meredam konflik diantara mereka yang sudah terjadi puluhan tahun.

Daftar Pustaka:

[1] Hadi, Aulia. Bobotoh Persib dan Konstruksi Identitas di Era Digital.

[2] Impiglia, Christopher. 2013. Why Roma-Lazio Is One of Worl Football’s Fiercest Rivalries. Accessed on https://bleacherreport.com/articles/1730264-why-roma-lazio-is-one-of-world-footballs-fiercest-rivalries

[3] BBC Sport. 2018. Partizan v Red Star Belgrade: The Derby Which Divides and Unites a Country. Accessed on https://www.bbc.com/sport/football/45578624

[4] Magee, Will. 2017. Old Firm, New Bonds: The Politics Tying Big European Clubs to Celtic and Rangers. Accessed onhttps://www.vice.com/en_uk/article/ywnm8j/old-firm-new-bonds-the-politics-tying-big-european-clubs-to-celtic-and-rangers

[5] G., Payne, Stanley. The Spanish Civil War. New York.

[6] Sport Illustrated. 2012. Barcelona More than a Soccer Club; It is an Identity for Catalans. Accessed on https://www.si.com/soccer/2012/10/29/barcelona-catalan-identity-ap

[7] Child, David. More than a Game: How Politics and Football Interplay in Spain. Accessed on https://www.aljazeera.com/indepth/features/game-politics-football-interplay-spain-180403172920861.html

[8]Tremlett, Giles. Madrid v Barcelona: The Cultural Battle that the Catalans are Losing. Accessed on https://www.theguardian.com/world/2011/may/01/madrid-barcelona-cultural-rivals

[9] Corless, Liam. 2015. Real Madrid Kicks Fan and Punches Barcelona Fan as Violence Breaks Out in Spanish Airport. Accessed on https://www.mirror.co.uk/sport/football/news/real-madrid-fan-kicks-punches-5717799

[10] Synder, Jack L.– Transitions to Democracy and the Rise of Nationalist Conflict.

[11] Giles, Ciaran; Parra, Aritz 2017. “Spain: Top court officially rules Catalan referendum illegal

[12] Hazleton, W. A. 1998. Ending Violent Ethnic Conflict: Separation or Sharing as Options for Negotiations. 102–119.

[13] Kaufmann, Chaim. 1996. Possible and Impossible Solutions to Ethnic Civil Wars.

[14] Nurul Aini, 2003, Wacana Kritis Etnis Minoritas terhadap Kuasa, Skripsi Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, hlm. 70.

[15] Cruz. C. 2000. Identity and Persuasion: How Nations Remember Their Pasts and Make Theirs Futures. 275–312.

[16] Bookman, Milica. 1993. The Economics of Secession. Basingstoke: England.

[17] Chaim Kaufmann. 1996. Possible and Impossible Solusions to Ethnic Civil Wars

--

--