Kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia: Paradoks Keberagaman yang Diseragamkan

Isyraqi Ramadhan
11 min readMay 5, 2020

--

(Tulisan ini merupakan Tugas Final Pengantar Studi Hak Asasi Manusia HI UGM 2019)

“Akibat terbiasanya kita melihat penderitaan, sehingga menganggap penderitaan orang lain sebagai sesuatu hal yang normal.”

– Pope Francis di A Man of His Word –

Saya akan membahas mengenai pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Negara Indonesia, yang terkadang belum disadari oleh masyarakat Indonesia sendiri — pelanggaran yang terjadi di Negara dengan wilayah yang begitu luas sekaligus mempunyai keragaman agama, ras, etnis yang begitu kaya. Negara yang memiliki sejarah penindasan yang begitu lama oleh bangsa barat. Negara yang memiliki penyelewengan sejarah yang cukup panjang. Negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Negara yang begitu kaya dan beragam akan kehidupan sosial dan budaya, yang masih mencari jati diri dari bentuknya. Negara yang sudah berkali-kali berganti bentuk, pertentangan diantara pemikir-pemikir bangsa yang terus mengalir dari era ke era, dan seharusnya Negara yang sudah memiliki pembelajaran dan seharusnya belajar dari sejarah yang menimpanya Indonesia, sebagai negara yang memiliki konstitusi dan bentuk yang sudah dikatakan final, yaitu Undang-Undang Dasar NKRI tahun 1945 — dan dalam tulisan ini, saya akan menggunakan perbandingan fakta dan realita yang terjadi terhadap kehidupan bangsa dan negara Indonesia dengan seharusnya mandat konstitusi serta hukum yang ada di Indonesia.[1]

Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang sudah diberikan semenjak kita terlahir di dunia. Semua manusia, tanpa ada pengecualian. Bagi mereka yang berusaha untuk melanggar hak asasi manusia, apapun itu bentuknya, jelas merupakan hal yang dilarang. Negara, pada marwahnya harus menyediakan penghidupan yang layak bagi warga negaranya.[2] Dalam tulisan ini berangkat dari keresahan saya mengenai pergolakan yang terjadi dalam internal Bangsa Indonesia, dimana walaupun kemerdekaan secara lantang sudah kita katakan sehari-hari, tetapi banyak dari masyarakat Indonesia yang saya kira belum merasakan definisi dari term “merdeka” itu sendiri. Masyarakat masih banyak yang tertindas, hasrat untuk hidupnya dikekang, kelaparan yang merajalela, tidak memiliki pekerjaan, jurang antara si kaya-miskin begitu kental di negeri ini. Ketimpangan-ketimpangan nasib ini bagi saya juga imbas dari apa yang didefinisikan oleh pemerintah sebagai pelaksana negara yang berwenang, dimana seringkali pemerintah melakukan apa yang saya ambil sebagai judul dalam tulisan ini — keberagaman Indonesia sendiri yang suka sekali diseragamkan — oleh definsi yang dimiliki hanya oleh pemerintah sendiri.

Walau tidak bisa dipungkiri pemerintah masih ada usaha untuk mencari jalan terbaik agar Indonesia agar semakin baik, namun kondisi political[3] dan politics[4] tidak bisa dipungkiri memengaruhi perjalanan kehidupan bangsa ini. Kondisi yang bagi saya memperihatinkan ialah konsolidasi dalam rangka keperluan pemerintah Indonesia untuk mengondisikan agar rakyatnya dapat “patuh” terhadap Negara seringkali menjadikan keberagaman yang menjadi ciri khas dari Indonesia diseragamkan — pun tidak mendatangkan kesejahteraan yang diinginkan oleh warganya sendiri. Bhinneka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu dan berbangsa merupakan suatu cita-cita yang terus diusahakan agar tercapai. Dengan berbagai perbedaan yang umum seperti agama, ras, etnis; hingga perbedaan skala rasio dan hasrat masing-masing individu yang beragam dengan Negara seluas Indonesia ini. Berangkat dari hal yang berbeda-beda tersebut, pemerintah seharusnya bisa mengakomodir segalanya, tanpa terkecuali. Dalam penjelasan dibawah paragraph ini, saya aka mengorelasikan antar hukum yang diatur dengan fakta-realita yang terjadi di lapangan, dimana masih banyak kontradiksi dari aturan terhadap perjalanan yang ada.

Paradoks 1: Memajukan Kesejahteraan Umum & Mencerdaskan Kehidupan Bangsa[5]

Banyak tantangan yang harus dihadapi Indonesia dalam proses berbangsa, dan salah satu tantangan yang saya ingin mengurai permasalahan ini dengan kembali kepada menjadi aturan, filosfis bangsa ini,[6] namun dalam praktiknya masih bisa dikatakan bertentangan dengan apa apa yang sudah dicatutkan sejak awal. Term yang menjadi judul subbab ini masih bisa dikatakan belum menyentuh masyarakat Indonesia keseluruhan, bahkan dapat dikatakan kontradiktif dengan beberapa aspek. Kesejahteraan umum sendiri mempunyai hak untuk didefinisikan oleh masing-masing golongan di Indonesia. Dikarenakan masing-masing rakyat Indonesia, dengan background serta interest yang berbeda pula. Sebagai contoh apa yang diinginkan oleh petani dengan perusahaan tambang adalah tentu berbeda. Apa yang diinginkan penghuni kota DKI Jakarta yang relatif lebih mapan tentu berbeda dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur, yang relatif tertinggal, dalam perspektif kesejahteraan. Dalam kacamata kesejahteraan tersebut, secara tanggungjawab seharusnya pemerintah bisa dan harus mengakomodasi hal tersebut.

Dengan jelas, kewajiban pencerdasan kehidupan bangsa merupakan tugas pemerintah Indonesia untuk melaksanakannya. Bukan hanya masalah fisik saja, namun juga mengenai substansi yang diadakan oleh pemerintah. Pemerintah harus dapat mengakomodasi ilmu & pengetahuan apa saja yang dibutuhkan masyarakatnya, dengan kondisi dan tantangan yang dirasakan oleh masing-masing daerah, yang beragam. Pencerdasan yang harus dilakukan pemerintah ini dapat diimplementasikan dengan pendidikan yang disediakan — dan ini menjadi masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Pemerintah Indonesia seakan-akan bingung sendiri bagaimanakah cara membawa Negeri ini secara benar sesuai amanat dari konstitusi Negara. Dengan background dan interest dari masing-masing daerah yang berbeda, Produksi pengetahuan yang ada di Indonesia seringkali tidak “menembak” apa yang seharusnya dilahirkan dari pendidikan yakni manfaat terhadap individu-individu yang menempuh pendidikan tersebut, dengan background dan interest yang juga masing-masing berbeda. Warga Negara Indonesia yang tinggal di pegunungan tentu memerlukan pengetahuan yang berbeda dengan masyarakat yang ada di pesisir — dan keberagaman keperluan dari masing-masing masyarakat harus bisa diakomodasi oleh pemerintah, tidak boleh dihalang-halangi dan dibatasi.[7]

Kasus riil yang menjadi contoh betapa hak masyarakat dikekang dan keberagaman diseragamkan ialah dalam konteks pembangunan. Keberagaman sendiri juga lagi-lagi ditindas oleh rasa seragam yang ingin diimplementasikan pemerintah. Pembangunan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) sangatlah bertentangan dengan rasio dan hasrat masyarakat Papua yang mengonsumsi sagu.[8]

Pun melanjutkan definisi dari penegakan kesejahteraan umum yang juga ditegaskan dalam sila ke- 2 dan ke-5 Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, masih juga tidak dilaksanakan bisa dilihat dalam banyak kasus dalam beberapa waktu kebelakang, dimana kebakaran hutan di Sumatra; Banjir di Konawe, [9]Samarinda,[10] Bengkulu,[11] serta Morowali;, yang diakibatkan deforetstasi untuk alih fungsi lahan, atau proyek penambangan dari korporasi-korporasi raksasa,[12] Banyak masyarakat yang terdampak akibat kejadian ini.

Pun Aksi Demonstasi Damai di depan Istana yang sudah berjalan sangat jarang untuk dilayani, padahal masyarakat Indonesia menuntut kesejahteraan bagi mereka.[13] tidak kunjung ditanggapi atau digubris oleh pemerintah[14]; Penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat yang tidak berdaya;[15] Tebang pilih hukum, dimana rakyat kecil seringkali mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat dibandingkan para penguasa — seperti contoh kasus pemerintah sendiri yang tidak mematuhi keputusan mengenai hutan adat, keputusan mengenai Undang-Undang hutan adat, perkebunan,[16] serta keputusan mengenai pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil[17] — tidak mendapatkan hukuman dari pengabaian hukuman tersebut. Banyak gereja tutup pada tahun-tahun kebelakang akibat persekusi masyarakat yang lain, namun pemerintah abai mengenai kasus-kasus ini.[18]

Paradoks 2: Kemerdekaan Itu Ialah Hak Segala Bangsa dan Oleh Sebab Itu Maka Penjajahan di Atas Dunia Harus Dihapuskan, Karena Tidak Sesuai Dengan Peri-Kemanusiaan dan Peri-Keadilan.[19]

Kemerdekaan sudah diraih Indonesia pada 1945, masih meninggalkan “luka’ bagi beberapa bangsa (etnis)[20] yang tergabung dalam cita-cita menjadi bangsa Indonesia. Tuntutan untuk merdeka sampai sekarang, seperti misal yang ditutut oleh Bangsa Papua[21] atau Aceh[22], yang menuntut kemerdekaan dari Indonesia — pada akhirnya banyak direpresi oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Padahal, sudah jelas amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan sesuai dengan judul subbab ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sumber daya yang dimiliki Papua[23] dan Aceh[24], kekayaan yang dimiliki oleh wilayah itu dikeruk habis-habisan untuk menghidupi sebagian masyarakat Indonesia saja. Padahal, kemerdekaan yang diinterpretasikan bagi bangsa Aceh dan Papua pun merupakan bentuk dari suatu hak asasi manusia.

Langkah apa yang dilakukan Indonesia seakan-akan bingung sendiri, dimana Indonesia sendiri masih “mengkurung”, dimana Indonesia dalam tuntutan-tuntuan yang digaungkan ditantang untuk melakukan referendum, bahkan tidak mau — malah ingin menyeleseikan konflik dengan campur tangan militer — dikarenakan jika menilik sejarah, Timor Leste ketika lepas dari Indonesia pada saat itu memang menang secara referendum — diakibatkan salahnya pendekatan militer. Dalam contoh kasus mengenai Papua, Timor Timur, dan juga Aceh ini, sebenarnya bisa tergambarkan bahwa Indonesia sendiri masih melanggar apa yang dijanjikan dalam UUD NKRI 1945, dan masih mengimplementasikan kemerdekaan sebagai satu interpretasi seragam.

Paradoks 3: Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul, Mengeluarkan Pikiran dengan Lisan dan Tulisan dan Sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang[25]

Sudah dijamin bahwa masyarakat Indonesia dibebaskan untuk melaksanakan kegiatan diatas berdasarkan aturan yang berlaku, namun tetap saja banyak sekali diskusi-diskusi umum yang dibubarkan.[26][27][28] Semenjak era reformasi 1998, Indonesia yang meneguhkan dirinya sebagai negara demokrasi masih saja menentang diskusi-diskusi publik, dikarenakan dianggap bertentangan dengan kepentingan kesatuan negara Indonesia. Pembubaran-pembubaran paksa tersebut terus bergulir. Memang tidak bisa dipungkiri, terjebak di era orde baru membuat produksi pengetahuan yang ada cenderung bersifat otoriter, yang sangat terasakan ketika era semi-demokrasi sekarang. Pemikiran otoritarianisme sendiri yang “menyeragamkan” perspektif, dimana diskusi-diskusi yang dianggap terlarang sering kali dibubarkan secara paksa — dan tidak melahirkan dialektika penyadaran bagi publik — dan tergolong melanggar hak asasi manusia dikarenakan setiap manusia berhak mengetahui informasi, ilmu, dan pengetahuan; manusia bebas untuk berpikir; dan jika intervensi dalam pemikiran terjadi, itu merupakan tindakan condong ke arah fasis.

Paradoks 4: Negara Menjamin Tiap-Tiap Penduduk Untuk Memeluk Agamanya Masing-Masing dan Untuk Beribadat, Menurut Agamanya dan Kepercayaannya Itu[29]

Agama-agama asli Indonesia, [30] banyak yang dikekang dan diseragamkan oleh pemerintah Indonesia. Dimana agama-agama notabene “impor”[31], jauh mendapatkan keleluasaan untuk mengekspresikan serta menyebarkan agamanya. Seperti contoh, agama asli Kalimantan yakni kahiyang,[32] lalu agama asli jawa yakni kejawen,[33] dan juga agama asli sunda yakni wiwitan.[34] Padahal, sudah diamanahkan kembali di konstitusi bahwa hal ini merupakan kebebasan warga negara, namun, tetap keberagaman ini diseragamkan lagi oleh pemerintah. Padahal, jelas Indonesia dengan sila pertama Pancasila menegaskan bahwa ketuhanan merupakan suatu bentuk esensial yang begitu dipegang teguh, dan tetap saja masih ada keterbatasan pelanggaran hak yang dirasakan warga-warga yang memiliki agama, yang dilarang di Indonesia. Pun selain pelarangan agama-agama lokal tersebut, masih banyak sekali kejadian yang menggangu peribatan umat-umat agama yang sudah diakui di Indonesia. Radikalisme dan Intoleransi masih banyak terjadi dan merupakan tugas pemerintah untuk menyediakan ketenangan bagi warga negaranya dalam memegang teguh dan beribadah akan keyakinan agamanya. Sudah jelas bahwa kebebasan memeluk kepercayaan merupakan salah satu variabel dari hak asasi manusia.

Paradoks 5: Bumi dan Air dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya dikuasai oleh Negara dan Dipergunakan Untuk Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat

Kasus dimana kekayaan asli Indonesia sangat banyak dimanfaatkan juga oleh bangsa lain, kekayaan seperti sumber daya alam yang begitu melimpah,[35] Indonesia belum bisa berdaulat sendiri sebagai negara, dan tidak berdaya di korporasi-korporasi asing. Kekayaan yang dimiliki Indonesia masih sangat banyak dikelola oleh perusahaan asing.[36] Jika sebenarnya Indonesia mampu untuk kembali dalam apa yang ada dalam sila ke-5 pancasila, dimana mengacu terhadap pembawaan Indonesia kearah sosialisme, tentu bisa jadi ada harapan yang cerah agar kekayaan ini dapat dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia. Terjebak dalam liberalisme serta proyek kapital ini membuat Indonesia sampai sekarang belum mampu melaksanakan hal itu. Tentunya, hal ini menindas masyarakat yang tidak berdaya, yang tidak memiliki faktor dan alat produksi sendiri, menindas hak asasi manusia mereka yang secara undang-undang sudah diatur oleh Pemerintah Indonesia.

Apa program yang dilaksanakan pemerintah, dalam penegakan bisnis kerjasama dengan entitas-entitas asing sendiri sebenarnya patut dikritik dan didiskusikan secara lengang, seluas-luasnya dalam publik. Pejabat-pejabat politik dan aparatur negara tidak bisa seenak-enaknya untuk melanggengkan kepentingan-kepentingan yang menganggu definisi dari kedaulatan; dan kedaulatan dalam arti kepemilikan sumber daya tersebut seharusnya tidak boleh diseragamkan oleh pemerintah.

Penutup

Pada akhirnya, berbangsa merupakan proses mengejar cita-cita, dimana pelanggaran mengenai hak asasi manusia sendiri merupakan risiko dalam berbangsa dan bernegara. Tugas dari pemerintah sebagai entitas yang berwenang memastikan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak terjadi, karena hak asasi manusia, apapun itu, sudah didapatkan sejak manusia lahir ke dunia. Di akhir tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa tugas dari seluruh masyarakat Indonesia juga untuk berdemokrasi, berdiskusi secara riil dalam ruang publik, melancarkan kritik-kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, demi menjamin hak asasi manusia warga negara Indonesia, yang dikatakan berbentuk kesatuan. Jika publik dalam demokrasi ini menutup mata dalam banyak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi disekeliling lingkungan terdekat saja. Apa yang patut lagi dipertahankan membela teguh Negara namun pelanggaran hak asasi manusia masih merajalela?

Daftar Pustaka:

[1] Dalam hal ini ialah UUD NKRI 1945.

[2] Negara, dalam tulisan ini yakni Indonesia, seharusnya menyediakan kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan. Dalam pembukaan UUD NKRI 1945 yang saya lampirkan di halaman pertama — dengan praktik ideologi Pancasila yang dianut oleh Indonesia.

[3] Political diartikan bahwa bukan mengenai masalah teknis belaaka, melainkan juga persoalan yang melibatkan berbagai alternatif yang bertentangan. Logika political memandu seorang analis kebijakan untuk mencermati analisis konfliktual.

[4] Sementara logika Politics berarti penentuan agenda yang dilakukan pemerintah tanpa melihat berbagai macam aspek, hanya meliat relasi seba-kebijakan secara garis besar saja. Kedua teori ini ialah Teori Sistem Politik yang dibuat oleh David Easton.

[5] Pembukaan Undang-Undang Dasar NKRI 1945

[6] Pancasila dan UUD NKRI 1945

[7] Sebagai contoh, pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat Pegunungan Bintang (pegunungan), Papua, dengan masyarakat yang ada di Nabire (pesisir), Papua, berbeda — pun dengan masyarakat di berbeda pulau, harus dicocokkan dengan masing-masing tantangan daerah tersebut (bisa dalam lingkup sosial, budaya, geografis, dan sebagainya.)

[8] Kala MIFEE Hancurkan Hutan Merauke dan Singkirkan Suku Malind. https://www.mongabay.co.id/2012/10/21/kala-mifee-hancurkan-hutan-marauke-dan-singkirkan-suku-malind/. Accessed on June 19, 2019.

[9] Antara. Korban Banjir Konawe Utara Masih Bertahan di Pengungsian. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190616213921-20-403755/korban-banjir-konawe-utara-masih-bertahan-di-pengungsian. Accessed on June 17, 2019.

[10] Nevriantgo Hardi Prasetyo. Banjir di Kota Samarinda Kaltim Makin Meluas, 10.300 Jiwa Terdampak Luapan Banjir. https://banjarmasin.tribunnews.com/2019/06/09/banjir-di-kota-samarinda-kaltim-makin-meluas-10300-jiwa-terdampak-luapan-banjir. Accessed on June 17, 2019.

[11] Firmansyah. Banjir dan Longsor Bengkulu, 17 Orang Tewas, 12.000 Warga Mengungsi. https://regional.kompas.com/read/2019/04/29/07274611/banjir-dan-longsor-bengkulu-17-orang-tewas-12000-warga-mengungsi. Accessed on June 17, 2019.

[12] Abdul Humul Faaiz. Banjir Terjang Bungku Barat, Morowali, Ketinggian Air Capai Dada Orang Dewasa — Tribunnews.com. http://www.tribunnews.com/regional/2019/06/08/banjir-terjang-bungku-barat-morowali-ketinggian-air-capai-dada-orang-dewasa Accessed on June 19, 2019.

[13] Seperti aksi kamisan yang sudah berjalan 12 tahun, lalu aksi buruh dari berbagai latar belakang.

[14] Christoforus Ristianto. 8 Fakta Tentang 12 Tahun Aksi Kamisan, Hanya Sekali Masuk ke Istana. https://nasional.kompas.com/read/2019/01/17/12072721/8-fakta-tentang-12-tahun-aksi-kamisan-hanya-sekali-diajak-masuk-ke-istana?page=all

[15] Penggusuran berkaitan pembagunan NYIA, penggusuran di Kendeng mengenai pabrik semen, dan masih banyak beberapa contoh kekerasan yang melanggar hak kesejahteraan masyarakat.

[16] Prima Gumilang. Sarat Pesanan Swasta, UU Perkebunan Digugat ke MK. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151027205735-12-87776/sarat-pesanan-swasta-uu-perkebunan-digugat-ke-mk. Accessed on June 19, 2019.

[17] Elviza Diana & Asrida Elisabeth. Apa Kabar Hutan Adat Setelah 5 Tahun Putusan Mahkamah Konstitusi? https://www.mongabay.co.id/2018/05/20/apa-kabar-hutan-adat-setelah-5-tahun-putusan-mahkamah-konstitusi/. Accessed on June 19, 2019.

[18] UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu

[19] Pembukaan Undang-Undang Dasar NKRI 1945.

[20] Benedict Anderson. Imagined Communities. 1983.

[21]Kristian Erdianto. Petisi Referendum Kemerdekaan Papua Barat Diserahkan ke PBB, Ini Respons Menlu Retno. https://nasional.kompas.com/read/2019/01/31/21391781/petisi-referendum-kemerdekaan-papua-barat-diserahkan-ke-pbb-ini-respons. Accessed on June 19, 2019.

[22] Seruan Referendum Aceh Bisakah Picu Konflik Baru?. https://www.matamatapolitik.com/in-depth-seruan-kemerdekaan-aceh-picu-kekhawatiran-adanya-konflik-baru/. Accessed on June 19, 2019.

[23] Sri Yanuarti. Kemiskinan dan Konflik Papua di Tengah Sumber Daya yang Melimpah. http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/446. Accessed on June 17, 2019.

[24]Masrizal. Jangan Sampai Kita Jadi (seperti) Aceh, Sumber Daya Alam Habis Rakyatnya tidak Sejahtera. https://aceh.tribunnews.com/2017/12/09/jangan-sampai-kita-jadi-seperti-aceh-sumber-daya-alam-habis-rakyatnya-tidak-sejahtera. Accessed on June 17, 2019.

[25] UUD NKRI 1945 BAB X Pasal 28

[26] Adi Briantika. Komnas HAM Kecam Pembubaran Diskusi Mahasiswa Papua di Jawa Timur https://tirto.id/komnas-ham-kecam-pembubaran-diskusi-mahasiswa-papua-di-jawa-timur-cNP6. . Accessed on June 19, 2019.

[27]Fabian Januarius Kuwado. Kontras: Pembubaran Diskusi di LBH adalah Watak Rezim Antidemokrasi. https://megapolitan.kompas.com/read/2017/09/16/21491571/kontras-pembubaran-diskusi-di-lbh-adalah-watak-rezim-antidemokrasi. Accessed on June 19, 2019.

[28] Heyder Affan. Mengapa masih ada pembubaran acara diskusi mahasiswa Papua? https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44682734. Accessed on June 19, 2019.

[29] UUD NKRI 1945 BAB XI Pasal 29 Ayat 2

[30] Adi Nugroho. 8 Agama Asli Indonesia ini Tak Pernah Diakui oleh Pemerintah Sejak Dahulu. https://www.boombastis.com/agama-indonesia/72943. Accessed on 19 June, 2019.

[31] Agama-Agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu merupakan agama yang bukan asli berasal dari Indonesia.

[32] Ahmad Faidi, Suku Dayak: Suku Terbesar dan Tertua di Kalimantan. 2015.

[33]Rizal Panngabean & Ihsan Ali-Fauzi. Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia. https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/20140100_Pemolisian-Konflik-Keagamaan_PUSAD-Paramadina.pdf. 2015.

[34] Bimo Wiwoho. Majelis Ulama Indonesia Anggap Sunda Wiwitan Bujan Agama. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170823220412-20-236844/mui-anggap-sunda-wiwitan-bukan-agama. Accessed on June 19, 2019.

[35] Maikel Jefriando. Kekayaan NKRI Rp 1.670 T Belum Termasuk Minyak, Tambang, dan Hasil Laut. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3293123/kekayaan-nkri-rp-1670-t-belum-termasuk-minyak-tambang-dan-hasil-laut. Accessed on June 19, 2019.

[36] Begitu banyak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, seperti Freeport, Adaro, Chevron, Berau Coal, perusahaan-perusahaan eksplorasi yang memiliki regulasi tidak menguntungkan Indonesia dalam masyarakat secara keseluruhan.

--

--