Indonesia: Absurditas Statolatri, Kapitalisme Komunal, dan Teritorialisasi Hasrat

Isyraqi Ramadhan
11 min readDec 11, 2020

--

“Tulisan ini merupakan Proposal Skrispsi saya yang sudah diseminarkan pada November 2020 lalu. Akan saya jadikan skripsi di tahun 2022, lebih-lebih akan saya jadikan sebuah buku nantinya. Tentunya, masih ada kebolongan dari tulisan ini. Jika paham dan tak idiot, silakan lengkapi.”

A. Latar Belakang

Diskursus mengenai fungsi dan manfaat negara semakin hari semakin dipertanyakan. Hal ini dikarenakan negara, sebegai manifestasi kerangka struktur sosial modern, belum bisa (atau bahkan tidak akan pernah?) menemukan cara terbaik agar memberikan manusia, sebagai komponen isi tatanan masyarakat yang berada dalam tubuhnya, meraih kesejahteraan secara menyeluruh. Bahkan, kedaulatan negara seiring berjalannya zaman justru melahirkan berbagai macam absurditas yang mengorbankan tubuhnya sendiri. Satu sisi semakin kabur dan semu (semisal masyarakat negara akibat teknologi yang semakin terkoneksi secara lintas satu sama lain), namun disisi lain meneguhkan dan menancapkan kekuatannya (segala macam hal urusan antar manusia semakin diatur negara) (Hizkia, 2010).Hal ini dapat dilihat dalam konteks negara Indonesia. Pasca berdirinya negara, perkembangan Indonesia justru melahirkan berbagai ketimpangan dan penindasan. Berbagai kultur etnisitas yang ditindas demi kepentingan kapital, ketimpangan kekayaan antar beberapa bagian dan yang diluarnya, dan kekayaan terpusat yang dikelola secara eksploitatif namun tidak merangsek lepas menyentuh segala lini penjuru negeri. (Laksono, 2015). Indonesia tahun-tahun kebelakang semakin parah. Penyembahan terhadap negara oleh para fanatik pemerintah termanifestasi dengan banyaknya buzzer berkeliaran yang melawan gerakan organic rakyat. Manusia Indonesia benar-benar di represi dari berbagai penjuru; aparat, militer, teknologi, pemerintah, kekuasaan, dan berbagai macam hal lainnya.

Kondisi negara yang belum menemukan final, di dalam perjalanannya menemui berbagai hantaman (juga menjadi bahasan kontekstual ilmu hubungan internasional)–peperangan, eksploitasi, kekacauan, pelanggaran HAM, dsb — terpaksa dinikmati sebagai apa yang dinamakan realitas serta pula menjadi konstruksi jalannya peradaban. Tapi disisi lain negara juga semakin diidolakan oleh masyarakatnya hingga menjadi statolatri (Gramsci, 1999). Hal ini juga diiringi dengan berbagai semangat untuk mengungkapkan apa yang menjadi kritik dalam kehidupan manusia dan masyarakat — termasuk usaha Gilles Deleuze dan Felix Guattari dalam skizoanalisisnya. Sifat dari manusia yang secara antropologis “serba terbagi” — imanen/transenden, sakral/profan, rasio/hasrat, material/ideal, dan berbagai macam hal lain yang menjadi ciri khasnya (Sneijder, 2004).

Realitas merupakan proses kreativitas yang diciptakan terus-menerus dan melahirkan gradasi untuk kehidupan, yang secara antropologis hasil dialektis antara manusia dan kondisi yang ada di luar dirinya–pula kreativitas merupakan produksi realitas yang terus menciptakan dirinya. Dalam analisis Deleuze dan Guattari, pemikiran murnilah yang dapat mencapai kebebasan mutlak. Analogi untuk memudahkan hal ini semisal pada manusia yang menerima keluarga sebagai sesuatu yang wajar, menerima kondisi negara yang mengatur dengan apa adanya, menangkap entitas-entitas diluar diri semisal institusi dan imajinasi sosial dengan pasrah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemikiran murni dan realitas yang penuh akan kebebasan benar-benar akan ditempuh manusia? Ditambah variabel dari kehadiran negara yang semu namun semakin tertancap dalam kehidupan, teknologi yang semakin masif dan terkoneksi akibat modernitas, dan berbagai macam lainnya, apakah benar manusia dapat menempuh kebebasannya?

Permasalahan yang terangkat ialah karena rasionalitas sebagai komponen dari diri manusia memiliki sifat yang dapat dieksternalisasi, dieksploitiasi, dan diakumulasi. Ini juga ditambah dengan fungsi dari negara sebagai sebuah “teknologi” pencanggihan rasio andalan maksimal dalam argumetasi tatanan masyarakat, yang hadir dengan tampilan birokrasi dan teknokrasi (Hartono, 2007). Bahkan, pertanyaan muncul hingga sedalam bahwa negara layaknya Tuhan yang pantas untuk disembah; dan tabu untuk dipertanyakan (Schmitt, 1985). Membuat manusia terpaksa masuk ke dalam labirin tersebut; memaksa dirinya untuk masuk dalam fungsi partisipasi, terfiksasi, sublimasi, bahkan represi, yang entah diinginkan secara asali dari dalam dirinya atau tidak (Mullahy, 1948). Tubuh manusia yang masuk ke dalam labirin partisipasi tersebut akan dilekatkan dan rentan dengan pelbagai imaji, aksioma, dan simulasi — dan ini bersifat memenjarakan manusia, membuat struktur antara kesadaran dan ketidaksadaran manusia, terkontaminasi dengan berbagai elemen sosial, dalam kerangka ini ialah negara.

Salah satu hal yang merangsek masuk ke dalam internal diri manusia melalui negara, yang patut diungkapkan ialah perihal kapitalisme dalam praktiknya merangsek diri manusia. Menggerogoti segala lini kehidupan pasca revolusi industri dan fordisme berlangsung. Hingga faktor kapital menjadi barang komunal yang dimiliki banyak masyarakat (walau masih ada yang bergantung kepada manusia lain). Negara adalah penyedia relasi sosial paling spesial yang paling dibutuhkan oleh kapitalisme (Hizkia, 2012). Negara seolah memiliki “hidden agenda”-nya sendiri, logika internalnya sendiri, yang berjalan secara obyektif diluar logika-logika lainnya (kelas, kapital, manusia, agama, kultural, dsb.), menjadi aliansi semu bagi sosialisme yang diharapkan banyak masyarakat dalam mimpinya (Hizkia, 2012).

Mendekati derita, imajinasi masyarakat (dalam konteks ini adalah masyarakat Indonesia) yang sudah terkontaminasi oleh berbagai fenomena dan pengetahuan yang ada di sekelilingnya, membawa masyarakat mengkritik krisis serta eksploitasi yang melanda di dunia. Argumentasi negara sebagai pusat penyelenggara kehidupan harus meneguhkan ideologi riil dan berpihak kepada rakyat pun seringkali mendapatkan kritik tajam. Akan tetapi uraian kritis menolak negara Indonesia sebagai rekan kuat kapitalisme dalam pengungkapan struktur, bahkan spesifik pemikiran Deleuze dan Guattari terutama teritorialisasi hasrat yang melekat pada masyarakat, kira belum hadir dalam fungsinya menjadi diskursus pada masyarakat dalam penyadaran kepentingan menuntut kedaulatan dan kemerdekaan.

B. Pertanyaan Penelitian

Berangkat dari latar belakang bahwa teritori hasrat manusia dapat terjadi akibat intervensi negara serta sistem kapital yang memasuki hampir semua lini kehidupan manusia, tulisan ini memiliki 2 pertanyaan yang ingin ditelisik lebih lanjut:

1. Bagaimana negara menjadi penyedia tatanan kapitalisme dan menjadi statolatri yang mengkungkung hasrat manusia?

2. Bagaimana proses berjalanannya statolatri, kapitalisme, dan pengungkungan hasrat di Indonesia?

C. Kerangka Konseptual: Statolatri, Multitude, dan Skizoanalisis

Tulisan ini menggunakan argumentasi analisis kontemporer postrukturalisme, dengan usaha agar tetap ketat di setiap argumentasi yang dipaparkan. Postrukturalisme melihat bahwa strukturalisme berusaha menciptakan standar regulatif atau seperangkat sistem normatif yang tercipta pasca periode humanisasi yang penuh akan rasionalitas. Padahal, strukturalisme memenjarakan subjek pada mekanisme tersembunyi struktur. Strukturalisme meyakini bahwa dengan menyeburkan diri ke dalam realitas sosial adalah proses humanisasi, dengan keunggulan manusia akan rasionalitas, yang sesungguhnya (Best dan Kellner, 2003). Postrukturalisme berusaha melampaui batas-batas struktural semisal negara, birokrasi, teknokrasi, kapitalisme, bahasa, dsb. dengan mengurai dan menguak kerangka besar dari produksi struktur.

Lebih jauh, dengan analisis postrukturalisme ini, penulis ingin membongkar relasi yang dimunculkan hubungan manusia, negara, dan kapital yang ada di Indonesia; menguak struktur negara yang dibangun atas embel-embel ideologi kebangsaan, namun disusupi atas nama kapitalisme. Membuat manusia menyembah negara seperti yang di argumentasikan Carl Schmitt dan Antonio Gramsci, menjebak manusia diantara posisi penentang sekaligus penikmat negara dan kapital (multitude) ala Michael Hardt dan Antonio Negri, dengan final berupa analisis postrukturalis berupa pembentukan hasrat yang disampaikan oleh Deleuze dan Guattari. Tentunya dalam pembongkaran struktur ini juga akan memakai analisis-analisis pemikir postrukturalisme lain, yang memiliki dampak dengan berbagai fenomena sosial dan dapat membantu penulis agar lebih elaboratif. Penulis juga akan menyampaikan beberapa macam analogi agar tulisan ini lebih mudah dipahami.

Untuk melacak genealogi pemikiran Deleuze dan Guattari perihal pembentukan hasrat, tak bisa dipungkiri penulis harus lekat dengan berbagai konsep dan tokoh lain selain Schmitt, Gramsci, Hardt, dan Negri. Kemungkinan besar penulis juga akan dibantu pendekatan hubungan kuasa dan pengetahuan / arkeologi dan genealogi kepunyaan Michel Foucault. Penulis meyakini bahwa konsep-konsep yang dimiliki Foucault merupakan cara yang tepat dalam membantu konsep utama (Foucault, 1977). Membantu menjawab dari mana unsur studi hubungan internasional dalam tulisan ini, penulis beranggapan bahwa diskursus dan pengetahuan sudah melampaui apa yang dibatasi oleh kerangka modern negara. Ini berkaitan dengan strukur kapital yang saling terkait satu sama lain, melebur menjadi satu bersama negara.

Lalu penulis juga akan menggunakan pendekatan pembedaan subjek-abjek yang dimiliki Julie Kristeva. Hal ini dikarenakan penolakan terhadap abjek serta pembentukan subjek termasuk korban dari apa yang berusaha dibentuk kepada hasrat (Kristeva, 1982). Ini untuk melengkapi elaborasi narasi bahwa demi ideologi subjek; apa yang tidak menjadi subjek dan abjek harus dikesampingkan. Analogi ini dapat digambarkan dengan singkat di Indonesia dengan siapa yang berideologi Pancasilais dan siapa yang tidak. Subjek merupakan diri yang memiliki rasa nasionalis baginya dan menurutnya; dan yang memiliki rasa nasionalis lain bukan bagian dari golongannya. Sehingga ada intensi bahwa A merupakan bagian dari a; sementara b bukan bagian dari A.

Penulis juga berencana melakukan pendekatan pembacaan terhadap dialektika G.W.F Hegel dapat membantu penjelasan bagaimana memaknai manusia yang harus terjun ke dalam realitas untuk dapat dialektis, dan mengkritik dengan penjabaran bahwa tindakan tersebut justru membuat manusia terjebak dalam paradoks spasial dan temporal yang sudah tercampur aduk, dan dalam ini ialah konteks dunia yang masih dalam imajinasi negara dan kapital (Zizek, 2012). Paragraf dibawah, penulis akan berusaha menjelaskan 3 konsep utama serta studi kasus yang ada dalam rencana pengembangan tulisan ini.

a. Statolatri

Statolatri yang dimaksudkan disini ialah penyembahan terhadap negara. Statolatri merupakan suatu efek kekuasaan yang hegemonik. Hegemoni merupakan suatu perluasan jangkauan kekuasaan, dalam hal ini negara, ke bidang-bidang yang sebelumnya tidak dijangkaunya. Jadi apabila jangkauan konvensional negara adalah kepatuhan politik rakyatnya, maka hegemoni memperluas jangkauan tersebut ke arah yang lebih “non-politis,” (Anderson, 1976). Statolatri menyebabkan pemujaan fetistik kepada negara. Kritik terhadap negara merupakan suatu hal yang berada diluar imajinasi rakyat. Membuat masyarakat seakan pasrah dengan kondisi represi terhadap hasrat akibat kehadiran entitas politik. Konteks ini, dapat diambil contoh dengan pemerintah negara yang berusaha mengambil dukungan masyarakat seluas-luasnya, namun justru mengkhianati janji yang ia berikan terhadap rakyatnya. Konsep ini berusaha menguak logika negara berusaha untuk mempertahankan kedaulatannya justru kontraproduktif dengan apa yang diharapkan masyarakat negara. Hal ini akan saya kaitkan dengan konsep berikutnya yakni konsep multitude. Pemunculan terhadap penghambaan negara hadir dikarenakan kepentingan ekonomi yang membuat terkait dan menjebak manusia ke dalam lingkaran sistemik.

b. Multitude

Multitude didefinisikan bahwa kondisi manusia yang digencat oleh negara dan kapital melahirkan kondisi “paradoksal”. Pasca bentuk kerja yang bertransformasi dari kerja kasar yang bersifat manufaktur, kemudian berubah dengan tambahan variabel kerja semisal sektor finansial, hiburan, jasa, dan kerja-kerja yang tak tergolong disaat era Karl Marx memenuhi diskursus, mengubah peta politik dalam definisi kapital — semua orang dapat dikatakan memiliki kapital (Hardt dan Negri, 2004) Kapital bertransformasi menjadi barang kolektif. Akan tetapi, perubahan ini tak menghilangan siapa yang digolongkan sebagai proletar. Semisal contoh, masih adanya golongan yang dianggap seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara yang sebenarnya negara secara argumentasi memiliki kedok dan watak tersembunyi — dan warga negara sendiri tak berdaya dikarenakan relasi yang sudah tercipta. Konteks ini dapat dilihat dengan berbagai macam tuntutan masyarakat negara, dimana aspirasi serta identitas yang beragam dari masyarakat yang tertindas, pula dari kepemilikan kapital yang berbeda, menuntut perlawanan terhadap negara. Usaha untuk melawan memang hadir kepermukaan, akan tetapi pemaksaan akan satu alasan dan tujuan yang ketat justru menghambat gerakan manusia dalam masyarakat agar terbebas dari teritorialisasi. Pada akhirnya, timbul wacana kesadaran bahwa masyarakat sudah terpolarisasi dengan identitas yang sangat inovatif. Dikaitkan dengan skizoanalisis, hal ini membagi atas dua opsi — antara manusia yang semakin terjebak, terjun ke palung realitas ketertindasan yang semakin multidisiplin dan lebih dalam, atau manusia yang lepas mencari jalan keluar pembebasan.

c. Skizoanalisis

Skizoanalisis adalah tujuan akhir dari apa yang ingin diurai tulisan ini. Pada dasarnya berusaha untuk membongkar sesuatu yang palsu, yang fana, ketergantungan manusia terhadap gaya hidup yang membuat manusia menjadi pribadi-pribadi molar ataupun molekular, molar dalam pendek kata sebagai pribadi yang menempatkan aksioma sebagai penyebab final yang eternal bagi formasi sosial — sedangkan molekular ialah usaha untuk membentuk arus dan alternatif lain, membiarkan hasrat bergerak bebas (Deleuze dan Guattari, 1984). Manusia menjadi pribadi-pribadi global yang teradopsi akibat diskursus dan wacana sosial yang ada diluar dirinya. Sejarah penjinakan terhadap manusia berasal dari tingkat paling dasar semisal keluarga hingga ada pada tatanan negara. Agen-agen penjinak yakni negara ini memantau, mengotrol, dan membunuh hasrat manusia — institusi sosial beserta tatanan siap mengkodekan aliran asli hasrat. Kehidupan sosial sudah tekontaminasi dengan proses fiksasi, bahwa subjek A seharusnya melakukan a, dan melakukan abjeksi terhadap b; penggantian terhadap sesuatu yang tak dikehendaki subjek tersebut; sublimasi terhadap tujuan; dan represi terhadap hasrat yang sebenarnya dapat memproduksi layaknya rasionalitas yang diagungkan semenjak periode humanisme. Manusia pada akhirnya dieksternalisasi dari kehendaknya, dieksploitiasi sesuai dengan imaji sosial butuh, dan diakumulasi terus menerus — dan proses ini terus berlangsung, terkodifikasi oleh entitas lain diluar tubuhnya. Hal ini memunculkan satu argumentasi: Bahwa statolatri dan kapitalisme dalam penjelasan multitude membuat hasrat manusia benar-benar teretorialisasi

d. Studi Kasus: Konsep Negara dan Konteks Indonesia Hingga 2019

Lalu dalam pembongkaran sejarah negara dan konteks Indonesia dalam praktik teritori hasrat akan dibantu dengan Leviathan Thomas Hobbes. Dimana negara dianalogikan sebagai manusia yang memiliki sifat layanya serigala — dan dikenal konsep homo homini lupus di mana manusia adalah serigala bagi serigala lainnya. Manusia akan selalu dihantui rasa takut dan ancaman dari manusia lainnya. Kondisi ini disebut Hobbes sebagai kondisi alamiah (state of nature); atau bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua. (Suseno, 2016). Pada konsisi ini, Leviathan lahir dan menjanjikan kondisi aman, dan para lupus mengambil kepercayaan itu dan memberikan uang, kepatuhan, dan menyerahkan kekuasaan kepada Leviathan yang absolut. Sayangnya logika ini menjadi gugur saat dihadapkan pada kenyataan banyak Leviathan yang justru memakan lupus-lupus yang telah membayarnya.

Dalam kasus Indonesia, sistem negara sudah berulang berganti, pemilihan untuk menentukan tampuk kekuasaan secara sistemis menuju kondisi demokratis dan perbaikan. Akan tetapi, permasalahan utama perihal esensi kekuasaan yang justru akan berkhianat, menjadi Leviathan, atau melahap sesama lupus — dalam hal ini ialah penguasa yang tidak menyejahterakan rakyatnya; atau mencoba menyejahterakan rakyat karena landa melindungi dan mengamankan topeng kekuasaan di masa yang akan datang, bersinggungan dengan teritorialisasi hasrat masyarakat Indonesia menjadi elaborasi final di akhir tulisan.

D. Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan

Penelitian akan diakukan dengan metode deskripsi dengan usaha reflektif-kritis (Evans & Maloney, 1998). Dengan studi literatur, menganalisis wacana, berusaha melacak maksud pembentukan dari negara dibalik embel-embel kapitalisme modern dan berakibat kepada pengungkungan serta pembentukan manusia sebagai masyarakat negara, dan mengambil sampel-sampel dari kejadian yang terjadi di di berbagai penjuru negeri. Studi kasus via literatur digunakan karena merupakan metode untuk menguak antara fenomena kontemporer dan koteks kehidupan nyata. (Yin, 1984). Alur penulisan akan dimulai dengan penjelasan pembentukan logika negara dan historis pertarungan kekuasaan, kemudian negara yang berkerja sama dengan sistem ekonomi kapital membuat negara dengan absurd disembah oleh masyarakat (Camus, 1945). Kesadaran yang terbentuk akibat eksloitasi masyarakat tersebut justru meningkatkan keabsurdannya dengan terjebaknya masyarakat dalam kondisi multitude, dan kemudian mengarahkan kepada skizoanalisis terteritorinya hasrat manusia sebagai komponen masyarakat negara, dan selanjutnya mengkomparasi dengan kasus yang terjadi di Indonesia.

Lebih rinci, tulisan akan diawali dengan penjelasan historis pembentukan negara, argumentasi Hobbes perihal Leviathan, lalu beralih kepada kepercaayan negara layaknya kepercayaan kepada Tuhan yang dimiliki Carl Schmitt dan kemudian pengandaian bahwa negara melakukan tindakannya seperti manusia sebagai individu. Kemudian, akan dijelaskan konsep Antonio Gramsci perihal negara — dimana negara dianggap menjadi kiblat bagi masyarakatnya yang difungsikan sebagai penyembah. Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana penyembahan terhadap konsep negara berelasi kuat dengan sistem ekonomi yang justru membuat masyarakat terbagi, di antara menghamba terhadap negara dan kapital; dan terjebak dalam konsep multitude. Lalu berikutnya akan menjelaskan bahwa itu semua merupakan proses teritorialisasi, deteritorialisasi, dan reteritorialisasi hasrat; juga terhadap argumentasi esensi dari hasrat bagi Deleuze dan Guattari, tubuh tanpa organ, dan subjek skizoid yang non-fasis.

Kemudian akan dibandingkan dengan kondisi kebangsaan dan negara Indonesia, sedikit landasan awal historis kemerdekaannya, hingga menelisik kepada berbagai fenomena absurditas dan paradoksal kerangka negara di berbagai etnisitas atau kondisi antropologis penjuru negara. Sampel-sampel absurdirtas dan paradoksal itu akan diambil dari beberapa contoh kasus fenomena di beberapa daerah (penulis berencana membagi penelusuran dengan kontestasi etnisitas yang dapat dipandang sebagai nation dengan negara dan kapital).

E. Argumentasi Utama

Statolatri pada desainnya adalah sistem absurd, melanggengkan kapitalisme, menjebak manusia terhadap ketergantungan kepada negara, dan berakibat pada hasrat manusia yang terteritorialisasi.

Daftar Pustaka

· Agamben, Giorgio. State of Exception (Chicago: University of Chicago Press: 2005).

· Anderson, Perry, The Antinomies of Antonio Gramsci. New Left Review, 26 (Nov-Des, 1976).

· Camus, Albert, The Myth of Sisyphus. (Hamish Hamilton, 1945).

· Deleuze, Gilles dan Guattari, Félix, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, terj. R. Hurley, M. Seem dan H. Lane (London: Athlone Press, 1984).

· Deleuze, Gilles dan Guattari, Félix, Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, Vol II, terj. B. Massumi (London: University of Minnesota Press, 1987).

· Evans, G. C., & Maloney, C. An Analysis Framework for Reflective Writing. Australian (Journal of Teacher Education, 1998).

· Foucault, M., Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings, 1972–1977, peny. C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980).

· Gramsci, Antonio. Selection from the Prison Notebooks editor Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (International Publisher, New York, 1999).

· Guattari, Félix. Everybody Wants to Be A Fascist, terj. S. Fletcher, Semiotext(e) II(3).

· Hardt, Michael & Negri, Antonio. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (NY: Penguin Press, 2004).

· Kristeva, Julia. Powers of Horror: An Essay on Abjetion. (Columbia Uiversity Press, 1982).

· Laksono, Dhandy. Videografer. Ekspedisi Indonesia Biru. (WatchDoc Documentary, 2015).

· Polimpung, Hizkia Y., Kontemporalitas Idealisme Martin, atau Bagaimana Menjadi Materialisme-Dialektis tanpa Perlu Dialektis (Bagian II). (Jurnal Indoprogress, 2012).

· Polimupung, Hizkia Y., Psikoanaliss Paradoks Kedaulatan — Kasus Kebijakan Global War on Terror Amerika Serikat Semasa Pemerintahan George W. Bush Jr. (Universitas Indonesia, 2010).

· R.B.J. Walker, Inside/Outside: International Relations as Politcal Theory (Cambridge: Cambridge Uni Press, 1993).

· Schmitt, Carl. Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty, terj. G. Schwab (Cambridge: The MIT Press, 1985).

· Suseno, Franz-Magnis. Etika Politik. (Gramedia, 2016).

· Yin, R.K., Case Study Research: Design and Methods. (Beverly Hills, Calif: Sage Publications, 1984)

· Zizek, Slavoj. Less Than Noting. Hegel and The Shadow of Dialectics Materialism. (Verso, 2012)

--

--