Genealogi Subaltern dan Kekerasan Budaya antara Indonesia dan Papua

Isyraqi Ramadhan
5 min readMay 5, 2020

--

(Tulisan ini merupakan Tugas Final Mata Kuliah Kekerasan dalam Politik Dunia HI UGM 2019)

Sejarah kolonialisasi yang diterima negara dunia ke-tiga (Asia, Afrika, dan Amerika Latin) pada akhirnya meninggalkan berbagai permasalahan bahkan kekerasan hingga sekarang. Dalam kajian postkolonial, berbagai peninggalan semacam pengetahuan, bentuk pemerintahan, ketergantungan ekonomi dan politik, serta berbagai macam peninggalan penjajah pada akhirnya tertanam dalam benak masyarakat yang dahulu terjajah, dan seringkali justru menjadi boomerang karena pengetahuan yang diproduksi oleh penjajah terdahulu menempel lekat dalam otak serta begitu dekat dengan kehidupan masyarakat terjajah. Permasalahan tersebut seringkali membunuh apa yang tela menjadi budaya oleh masyarakat terjajah, dan menimbulkan kekerasan yang dilahirkan berbentuk kekerasan budaya/kultural, dimana kekerasan yang sering kali digolongkan oleh khalayak umum bukan kekerasan, tidak disadari oleh sang terjajah atau bahkan si penjajah, dikarenakan menggunakan peran subtil dalam kebudayaan untuk melanggengkan kekerasan tersebut.

Sementara dalam menjelaskan fenomena tersebut dapat dipakai kajian postkolonial — yang dijelaskan sebagai pendukung untuk mendekonstruksi pandangan kolonialis masyarakat Barat yang merendahkan masyarakat Timur atau masyarakat jajahannya.[1] Masyarakat terjajah yang pada dasarnya memiliki pengetahuan lokal, yang menjadi pola dan alur arah kehidupan mereka, namun akibat masuknya entitas kehidupan lain ke dalam kehidupan masyarakat terjajah, seringkali terjadi penyatuan budaya atau bahkan penghapusan budaya. Dalam teori Subaltern yang dimiliki oleh Spivak, disebutkan bahwa term Subaltern merujuk kepada sesuatu yang secara sosial, politik, dan geografis ditaklukkan oleh suatu kelompok yang menguasai mereka. Praktik hegemoni dalam apa yang dimaksudkan sebagai subaltern, dimana pesona serta individu yang terjebak dalam hegemoni dimanipulasi secara politik oleh sosok yang menghegemonik.[2]

Jika disandingkan dengan apa yang dikatakan oleh Johan Galtung, ia menyebutkan bahwa kekerasan kultural merupakan kekerasan yang beredar dalam kehidupan dan diri kita; atau yang dikatakan sebagai ruang simbolik — ruang yang penuh akan simbol-simbol (the symbolic sphere of our existence). Ruang simbolik, sebagai contoh adalah bahasa, dapat sebagai medium dimana manusia dikenal dan mengenal dirinya sebagai suatu bangsa, etnis, agama, ataupun identitas komunitas/kelompoknya. Pula, kondisi sebaliknya juga menghantam persona manusia, dimana keberadaan manusia sebagai bangsa, komunitas, agama, hingga etnis tertentu teridentifikasi dari bahasa yang yang digunakan.

Dalam konteks kenegaraan Indonesia sekarang, hal tersebut dapat direfleksikan dan dikritisi kembali. Indonesia yang dikatakan terdiri atas beragam identitas (dengan kerangka Bhinneka Tunggal Ika-nya) dalam membangun bangsanya pasti akan mengalami apa yang digolongkan dan didefinisikan oleh Spivak pula oleh Galtung; yakni kondisi subaltern dan kekerasan kultural. Pergolakan yang menjadi hall umrah dalam kerangka bernegara. Memang, jika memakai argumentasi yang dimiliki oleh Ben Anderson di karya Imagined Commuinities-nya, berbangsa merupakan sebuah cita-cita; bangsa merupakan sebuah fiksi. Fiksi ini pula yang sebenarnya dimiliki oleh identitas yang beragam; yang dikemas dan dibungkus atas nama NKRI.

Antara harus bersepakat atau tidak, picisan bangsa yang paling terpaksa masuk kedalam NKRI ialah Papua. Tidak bisa dipungkiri, klaim saya tersebut diargumentasi dimana NKRI terdiri dari berbagai ‘bangsa’, semisal bangsa Jawa, Bugis, Batak, Bali, Banjar, dan berbagai ‘bangsa’ yang diberikan nama lain berupa etnisitas, namun Papua yang secara identitas riil berbeda secara ras dengan mayoritas bangsa NKRI lainnya, antara Mongoloid dan Melanesia, memantik pertanyaan, apakah keberadaan Papua sendiri, dengan berbagai perbedaan yang dimilikinya dengan ‘saudara setanah air’-nya , banyak yang dilindas dan ditindas?

Ditarik kepada kisah historisnya, pengaruh sistem administrasi dual colonialism ketika masa penjajahan yang dilakukan oleh Belanda merupakan pemantik dari akar kesadaran identitas Bangsa Papua. Pada zaman tersebut, yang menempati hierarki puncak dalam kehidupan sosial di Papua adalah elite-elite Belanda, dimana pada saat itu berfungsi sebagai pemerintah. Lapisan kedua ditempati mayoritas orang Indonesia yang menjadi pejabat lokal, polisi, guru, dan misionaris. Orang Papua justru berada di lapisan paling bawah.[3] Kondisi itu kemudian menjelaskan narasi bagaimana orang Indonesia yang duduk di lapis kedua mengambil jarak dari kehidupan orang Papua. Pada saat itu, dikatakan bahwa orang Indonesia yang juga dijajah oleh orang Belanda saling mengambil jarak — bahkan jarak tersebut termanifestasi dalam kata olokan “Papua Bodoh”.[4]

Papua, tanah kaya nan subur yang ada di ujung timur Indonesia, sampai saat ini masih menarasikan perihal keinginan untuk merdeka. Secara simbolik, narasi demonstrasi kemerdekaan, pengibaran bendera bintang kejora, masih terbentang dilantangkan oleh segelintir yang bahkan tidak hanya masyarakat asli Papua saja. Bukan tanpa alasan, bentuk manifestasi kekerasan yang dirasakan rakyat Papua juga pada akhirnya menyentuh ambang batas rasa kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia-manusia yang juga beridentitas Indonesia. Menjadi masalah ketika militerisme, penindasan ekonomi-politik, bahkan penghapusan budaya yang semakin dikikis habis oleh pemerintah, dalam kedok demi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Contoh tersebut juga ada dalam pembangunan MIFEE di Merauke, Papua. Saat ini, masyarakat Malind yang menjadi penghuni wilayah disana, yang memiliki kawasan hutan seluas sekitar 1,2 juta hektar terancam tergusur. Mereka tertekan kebijakan pembangunan nasional bernama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Mega proyek kerjasama pemerintah Indonesia dengan pengusaha ini akan merusak dan menghilangkan kawasan hutan dengan ekosistem penting di selatan Papua serta menyingkirkan orang Malind dari sumber kehidupannya.[5] Megaproyek dimana penanaman sawah besar-besaran untuk memberikan suplai bahan makan pokok berupa beras sangatlah bertentangan dengan budaya Papua yang mengonsumsi sagu dan umbi-umbian sebagai makanan pokok.

Praktik hegemoni pemerintah pusat terhadap kehidupan masyarakat Papua, yang pada dasarnya pula, yang secara historis masih dapat dipertanyakan dengan cukup radikal mengenai berbagai penindasan yang dirasakan mereka, menindas berbagai aspek kehidupan termasuk contoh perihal makanan. Mengganti tindakan masyarakat lokal dengan embel-embel dibalik alasan investasi, menyembunyikan pendosa dengan warna moral tanggungjawab membangun bangsa; buruk menjadi baik; melontarkan kata bahwa ini merupakan tingkah dalam niat kemanusiaan yang harus dibangun dan dibina, namun menindas kemanusiaan dalam bentuk budaya yang aslinya. Fakta kekerasan disini menjadi abu-abu.

Kembali lagi kepada analisis Spivak, bahwa kelompok subaltern merupakan alat dari suatu praktik hegemonik yang dilambangkan dengan dominasi politik, militer, sosial, dan bahkan kultural oleh suatu kelompok di atas kelompok lainnya.[6] Hegemoni yang dimaksudkan disini ialah operasi bersifat ideologi serta hal-hal etis yang dilakukan kelompok hegemoni terhadap objek yang ingin dikuasai; yang dalam hal ini adalah apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Papua Kelompok subaltern yang pada tulisan ini dikatakan adalah bangsa Papua, adalah kelompok yang sebenarnya dikatakan suaranya selalu direpresentasikan, sebagai bentuk masyarakat Indonesia, sementara representasi tersebut hanyalah kedok alat untuk menuju dominasi yang paling nyata.[7]

Galtung menggambarkan kekerasan tersebut dapat saling menlegitimasi, antara kekerasan kultural dan struktural. Ia yang memiliki beberapa beberapa aspek budaya: agama, ideologi, bahasa, seni, empirical science, dan formal science, sebagai bentuk yang justru dapat melanggengkan kekerasan kultural menjadi struktural.[8] Kultur dimana usaha penggantian suplai makanan hingga menggusur masyarakat lokal, berusaha memasukkan ide yang menjadi kehendak sang hegemon, dengan memasuki proses politik dan kebijakan membuat pelanggengan kultur yang ingin dicapai saling memproduksi bersama struktur.

Subaltern Spivak bersama teori kekerasan yang dimiliki oleh John Galtung saya kira dapat menjadi Genealogi dari apa yang terjadi dengan Indonesia dan Papua. Pemaksaan kehendak hegemon terhadap masyarakat yang dikuasai, membuat kultur yang ada dalam masyarakat tersebut terkikis bersama struktur yang dilanggengkan. Tidak hanya mengenai contoh kasus, tempat, dan waktu itu saja; sangat banyak hal-hal lain yang masih dalam konteks Indonesia dan Papua dapat dijelaskan dalam kedua konsep tersebut.

Daftar Pustaka:

[1] Setiawan, Rahmat. 2018. Pascakolonial: Wacana, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Gambang Buku Budaya.

[2] Setiawan, Rahmat. 2018. Subaltern, Politik Etis, dan Hege,oni dalam Perspektif Spivak. Jurnal Ilmu Sastra.

[3] Chauvel, Richard. 2005. Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation.

[4] Materay, Bernarda. 2014. Nasionalisme Ganda Orang Papua.

[5] Mongabay.co.id. 2012. Kala MIFEE Hancurkan Hutan Merauke dan Singkirkan Suku Malind. Accessed on https://www.mongabay.co.id/2012/10/21/kala-mifee-hancurkan-hutan-marauke-dan-singkirkan-suku-malind/

[6] Spivak, G. C. 1994. Can the subaltern speak? dalam P. Williams & L. Chrisman (eds), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory. New York: Columbia University Press.

[7] de Kock, Leon. 1992. Interview with Gayatri Chakravorty Spivak: New Nation Writers Conference in South Africa, ARIEL: A Review of International English Literature. 23(3) 1992: 29–47.

[8] Galtung, J. 1996. Peace by Peaceful Means.

--

--