Antara Kemakmuran dan Risiko

Isyraqi Ramadhan
7 min readMay 5, 2020

--

(Tulisan ini merupakan tugas Mata Kuliah Teori Sosial Kontemporer Sosiologi UGM 2020)

Tulisan ini ingin menggambarkan apa yang saya tangkap dalam salah satu mahakarya terkenal Ulrich Beck; yakni Risk Society. Dimana dinarasikan perihal konsep modernitas yang berakibat terhadap apa yang dikatakan terjadi dalam fenomena global sekarang. Masyarakat dunia yang saling terkait harus menanggung beban hidup dengan menikmati risiko dari apa yang mereka ataupun orang lain perbuat. Tidak hanya yang berjarak dekat saja, tetapi juga sangat mungkin terhadap individu, kelompok, dan masyarakat lain yang berada sangat jauh dari lokasi sumber atau awalan risiko berasal. Dapat diambil contoh dengan virus corona yang begitu menjangkit dan menakuti seluruh khalayak dunia, atau pun krisis iklim akibat kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, dapat berdampak terhadap masyarakat Skandinavia yang berada entah diujung dunia sana. Ketika krisis ekonomi global dapat menghancurkan karir seseorang yang sudah meniti dan belajar susah payah, hingga risiko-risiko lainnya yang terduga maupun tidak. Masyarakat modern harus menikmati ketidakstabilan dari perjalanan peradaban. Watak masyarakat risiko suka atau pun tidak harus disadari dan dimiliki oleh individu-individu agar bisa survive dalam kehidupan yang penuh dilema.

Disebutkan dalam halaman pertama buku ini, merangseknya teknologi serta akumulasi produksi yang sudah lekat dengan logika ekonomi kontemporer membuat risiko sosial harus diterima. Tidak meratanya akses produksi dan distribusi menjadi santapan kehidupan yang terpaksa diterima manusia; bahkan tidak manusia saja melainkan berdampak kepada makhluk biologis pun yang abiologis. Bahkan, risiko harus memang sudah menjadi hal utama dalam kehidupan masyarakat, dimana risiko sekarang dapat dicegah, diminimalkan, dan juga didramatisasi. Ada orang yang kelaparan, tapi disisi lain ada orang yang mati akibat kegemukan; ada yang dilanda krisis kekurangan pangan, namun di Indonesia sendiri telur dan beras dimusnahkan. Risiko dan industri sangat berkaitan erat, semisal hutan-hutan dibabat dan digantikan pertanian demi argumentasi menghidupi manusia, hewan liar masuk ke dalam pemukiman masyarakat dan memangsa warga sekitar — dan pertanian yang dicanangkan sia-sia. Pelaut jatuh tenggelam namun bukan mati dengan alasan tenggelam, melainkan direngut nyawanya karena menghirup gas beracun dari pembuangan sampah dan air kotor. Kasus-kasus semisal undersupply dan overproduction menjadi santapan sehari-hari masyarakat yang dipaksa menikmatinya.

Terpaksa Menikmati Risiko

Dalam bagian ini dijelaskan berbagai contoh kasus yang ada di banyak tempat, dan saya berusaha mencampurkannya dengan kondisi reflektif yang saya alami mengenai risk society. Dalam bagian pertama dijelaskan bahwa ibu-ibu yang entah mengonsumsi makanan atau pun terpapar kondisi lain yang mengandung racun mengakibatkan dirinya terjangkit bahan kimia dan membuat air susunya pun mengandung bahan serupa sehingga membuat bayi sang ibu terjangkit penyakit. Hal ini sama dengan logika yang sama dengan penyebaran virus HIV, dimana bayi yang tidak tahu apa-apa harus menerima bahwa dirinya terjangkit HIV jika sang ibu terjangkit dengan alasan lingkungan yang tidak sebaik orang-orang yang lebih beruntung

Polutan beracun di udara, air, bahan makanan, kerusakan alam, dan lingkungan; merupakan dampak-dampak vital yang dilahirkan dari era penuh risiko. Akan lebih mudah menceritakan bahwa risiko memang berada diseluruh sendi kehidupan hanya dari contoh diatas. Saya akan mencoba megembangkan sesuatu yang sudah saya narasikan di paragraf tulisan ini. Kasus paling hangat berupa virus paling dekat dengan kehidupan masyarakat sekarang yakni Corona. Virus yang tersebar terindikasi dari kota Wuhan, Cina, diakibatkan virus yang berasal dari dikonsumsinya hewan semacam kelelawar dan tikus, membuat sudah begitu banyak masyarakat Cina yang terdampak dengan penyakit ini. Terjangkit virus ini sendiri banyak membuat nyawa dari masyarakat melayang. Buruknya, tenyata penyakit dari virus ini begitu masif tersebar; puluhan negara dikatakan sudah terjangkit dari virus ini. Virus yang menular dari air liur, dapat menjangkit via udara ataupun air.

Akibat penyakit ini, otomatis aktivitas ekonomi yang ada dan berkaitan dengan negeri Cina lantas lumpuh. Roda ekonomi terpantau sepi. Masyarakat yang terjebak dengan era yang saling berkaitan tidak memiliki akses untuk dapat bergeliat mencari pundi-pundi uang. Disisi lain produksi suatu barang diperlukan — semisal penjualan masker yang meningkat di berbagai penjuru dunia. Dampak lain dirasakan oleh sosok-sosok diluar manusia, dimana kucing dan anjing yang ada di sekitar kota dibunuh dikarenakan dianggap termasuk medium penyebar virus. Risiko dirasakan langsung oleh beberapa atau bahkan teman-teman yang digolongkan sebagai etnis Tionghoa, dimana dihindari dikarenakan stigma masyarakat bahwa mereka merupakan penyebar virus.

Kemudian dinformasikan bahwa ada sosok dari negeri tirai bambu yang memiliki obat penangkal virus, dan tentu hal ini disambut baik oleh masyarakat luas. Namun, narasi lain justru muncul di ranah publik dikarekan dianggap sebagai konspirasi dan dapat ditelisik. Jika disambungkan dengan apa yang dijelaskan dalam bacaan ini, kemungkinan politisasi dari virus yang penuh risiko ini adalah lumrah. Entah publik terkena literasi atau doktrinasi perihal isu ini. Sesuatu yang dikatakan diciptakan untuk ditangkal, dengan pembuat dan penangkal berasal dari sumber yang sama. Hal ini mirip dengan apa yang ada dalam isu seputar haram atau legalnya pemakaian tanaman ganja.

Politik perihal pengobatan dan farmasi pun juga menampilkan realita, dimana ganja yang dianggap sebagai barang yang melanggar hukum di negeri ini semakin diserang dengan argumentasi haram dari agama. Propaganda bahwa ganja memabukkan yang justru kontradiktif dengan apa yang terjadi di berbagai dunia lain, dimana daun ganja dijadikan sebagai obat penawar dari berbagai penyakit yang ada. Jika ganja ada, otomatis penyakit-penyakit yang tersedia di muka bumi tidak memerlukan produksi obat-obatan yang harus dipatenkan dan memiliki biaya begitu besar dan menguntungkan. Rasionalisasi bahwa mematikan manfaat dari suatu tanaman untuk keuntungan medis demi melancarkan proyek dan ambisi keuntungan dari mematenkan suatu resep obat dan terus memproduksinya agar tetap laku.

Contoh lain yang saya kira dapat menggambarkan fenomena lainnya ialah logika risiko yang sama juga terdapat dalam kegiatan pemerintah Indonesia dalam pembangunan infrastruktur. Indonesia, dengan kondisi negara yang begitu luas, sekarang dijargonkan dengan pembangunan yang begitu gencar demi kesejahteraan. Hal ini banyak memiliki dampak, pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya yang menihilkan faktor-faktor lain semisal HAM, ketenagakerjaan, perpajakan, bahkan dengan lingkungan. Pembangunan jalan tol dan bandar udara yang menggusur masyarakat, baik manusia maupun entitas-entitas lain (walau menimbulkan entitas baru yang bersifat abiologis), menghilangkan faktor produksi mereka, tanah yang diganti menjadi beton, dengan alasan berupa demi meningkatkan ekonomi. Trade off juga tentu terjadi, dengan pembangunan jalan tol dan bandar udara, permintaan pembelian semen akan meningkat, dan tambang serta pabrik akan dibutuhkan jika memang permintaan begitu besar. Pembukaan jalan tol akan membuat permintaan terhadap mobil yang sejauh ini paling gencar ke negara jepang semakin banyak, yang justru paradoks ketika Jepang sebagai sebuah negeri penghasil mobil justru jarang memproduksi mobil untuk negaranya sendiri.

Risiko Kelas dan Peradaban Global

Tipe risiko sendiri dikatakan berada di bawah dari kemakmuran. Jadi, masyarakat yang hidup di era ini “untung-untungan”, apakah mereka mendapatkan nasib atau privilese untuk dapat menikmati kemakmuran, ataupun ternyata menjadi sial ketika ia dipaksa menikmati hidup dibawah, dibayang-bayangi oleh risiko yang begtiu besar. Kemiskinan sebagai akibat dari rentannya risiko menohok masyarakat-masyarakat — sedangkan para orang kaya menikmati kemakmuran dengan memiliki penghasilan, kekuasaan, dan pendidikan. Orang kaya dapat membeli tiket untuk selamat dari risiko. Akses pendidikan sendiri berdampak kuat terhadap kemungkinan diterima di dunia kerja, dimana masyarakat yang tidak mendapatkan akses untuk merasakan pendidikan pada akhirnya seringkali bekerja di tempat yan lebih berisiko. Seperti contoh rasa stress, radiasi, berdekatan dengan bahan beracun, terpapar polutan, dan yang sialnya digaji rendah pula!

Sosok yang memiliki uang dan lebih mapan, dapat makan dengan bahan yang jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan kalangan orang-orang tak berdaya — layaknya dibandingkan Makan Egg Benedict dengan Nasi Telur ala Burjo — secara higienitas, harga, rekayasa nutrisi, dan produksi polutan, racun, serta kimia yang entah apakah adil untuk dibandingkan.

Tidak hanya soal pendidikan dan makanan saja, bidang regulasi keamanan bagi masyarakat risiko rentan tentu berbeda dengan sosok-sosok mapan. Tidak ada Satuan Pengamanan yang menjaga masyarakat rentan. Masyarakat risiko tersebar di seluruh penjuru dunia dengan sandang pangan papan yang kacau. Tidak hanya gepeng atau gembelan dan pengemis yang berkutat di beberapa kota besar di Indonesia saja, tetapi kota-kota semisal London dan Paris juga penuh akan manusia-manusia rentan yang mungkin dipikirannya tidak sampai untuk berpikir mengenai esok hari. Menyelamatkan hidup mereka hari ini adalah substansial utama yang muncul di benaknya — hari ini adalah hari ini — esok urusan esok — dan ini terjadi secara global. Risiko tumbuh mekar dan berkembang pesat. Risiko juga dapat diangkat dari level lokal menjadi nasional atau bahkan internasional. Kemiskinan merupakan hal yang hierarkis, kabut asap merupakan hal yang demokratis. Perluasan risiko-risiko ini membahayakan alam, kesehatan, nutrisi, mengglobal karena era keterkaitan sekarang. Melahirkan efek boomerang berupa semisal musnahnya spesies, erosi tanah yang menggila, penghancuran basis alamiah produksi pertanian. Mungkin yang paling gila adalah pemanfaatan senjata nuklir demi kepentingan golongan-golongan untuk berkuasa yang dapat menghancurkan dunia. Krisis-krisis ini terpaksa diterima sebagai nasib bagi seluruh kalangan di dunia.

Politisasi Risiko dan Penutup

Dengan berbagai argumentasi perihal risiko diatas, membuatnya rentannya dan penuh akan risiko masyarakat tak berdaya dimanfaatkan untuk dijaga, Risiko pun bersifat politis, karena dapat dikonstruksi, pula juga dapat dipolitisasi. Manusia-manusia dapat mendapat kerugian yang begitu menohok sekaligus keuntungan berlipat ganda akibat potensi risiko yang beredar di masyarakat. Bangsa atau negara yang besar pun rentan dengan berbagai risiko, yang ternyata tidak hanya menerjang negara miskin saja. Risiko dapat diproduksi dengan biadab ketika pasar membutuhkan produksi. Lagi-lagi pengetahuan perihal manajemen dan imajinasi pengelolaan risiko merupakan boomerang yang dapat memangsa sesama manusia

Monopoli akan pengetahuan juga berdampak terhadap apa yang menjadi rasionalitas dalam risiko. Ilmuwan terjangkit politik dan menampikkan risiko-risiko yang tidak sesuai dengan keinginan dan kepentingan mereka. Disisi lain, keberagaman dan semakin demokratisnya kehidupan juga bersanding dengan semakin meningkatnya risiko yang ada, saling melengkapi satu sama lain. Hal ini sangat dapat dikaitkan dengan intelektual-intelektual tukang yang mengeluarkan izin amdal kepada pembangunan terhadap proyek-proyek besar yang rela meminggirkan masyarakat. Proyek besar yang mengorbakan lingkungan dan bernilai jauh lebih besar.

--

--