Aksi Telanjang Ibu-Ibu Tolak Pembangunan Kawasan Wisata Danau Toba dan Imajinasi Kreativitas Aksi Mendobrak Stigma Gender

Isyraqi Ramadhan
3 min readMay 5, 2020

--

(Tulisan ini merupakan Tugas Final Mata Kuliah Gender dan Politik HI UGM 2019)

“Panjang Umur Perjuangan!”

Saya kira gerakan emansipasi di Danau Toba, dimana sekelompok masyarakat di Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, melakukan aksi penolakan terhadap pembangunan jalan yang merupakan akses untuk ke The Kaldera Nomadic Escape Toba; merupakan gebrakan yang cukup mengundang perhatian. Aksi tersebut cukup ramai diberitakan di media sosial. Eskalasi aksi ini berjalan dengan awalan berupa mayoritas ibu-ibu melakukan aksi penolakan terhadap pembangunan jalan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut. Aksi protes mereka digelar dua hari, yang pada akhirnya berakhir dengan ricuh. Para pengunjuk rasa saling dorong dengan aparat keamanan yang saat itu sedang meratakan bangunan sekitar kawasan rumah mereka dengan menggunakan alat berat. Karena aksi protes tak didengar, para ibu-ibu kemudian membuka baju. Mereka menuntut proses pembangunan kawasan wisata di tanah adat itu segera dihentikan.[1]

Gerakan ini saya kira sangat menarik, dimana konteks perempuan yang distigmakan dengan tindakan pamer aurat, yang jika dibandingkan dengan laki-laki dengan aksi yang juga sama-sama pamer aurat, atau bahkan bertelanjang dada, mengalami ketimpangan dalam hal kebebasan berekspresi. Protes aksi demonstrasi yang dimana laki-laki menampilkan telanjang sendiri merupakan hal yang biasa — namun berbeda jauh dengan perempuan yang melakukan aksi telanjang, dan ini merupakan hal yang sangat jarang dilakukan di Indonesia.

Jika berkaca dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh pihak warga negara luar negeri,[2][3][4][5] yang dengan mayoritas memiliki norma yang berbeda dengan Indonesia (perbedaan antar norma di dunia bagian barat dan timur) — saya intepretasikan bahwa ibu-ibu di Danau Toba memiliki imajinasi “gerah” dengan kondisi yang ada di sekitar mereka sekarang! Aksi spontan tersebut sepatutnya dapat ditelisik lebih jauh, dikarenakan secara spontan, ibu-ibu asal Sumatera Utara tersebut apakah entah sudah atau belum menonton aksi yang dilaksanakan oleh bule luar yang melakukan telanjang sebagai bentuk ekspresinya — bisa dengan ekspresif bertindak secara kolektif membuka bajunya didepan pihak-pihak kepolisian.

Perempuan-perempuan yang terlibat dalam tujuannya mendobrak dunia yang patriarkis, dunia yang dianggap diisi peran laki-laki sebagai individu yang utama jika dibandingkan dengan dirinya, dan juga mengenai maskulinitas yang identik dengan kekerasan, penuh akan rasionalitas, dan berbagai anggapan-anggapan lain, yang dianggap oleh beberapa kaum feminis sebagai bentuk yang menindas siapapun yang memiliki identitas feminitas yang santun, damai, serta penuh dengan perasaan menjadi termarginalkan — dapat memakai cara-cara seperti ini, terlebih khusus untuk aksi yang ingin direncanakan di Indonesia.

Pula, saya kira hal ini dapat melampaui doktrinasi kognisi dan obyektivikasi terhadap tubuh perempuan, yang saya kira seringkali dilakukan oleh laki-laki. Walau saya pribadi beragumentasi bahwa hal objektivikasi terhadap lawan jenis sebagai khayalan seksual tidak bisa dilarang sejak di dalam kepala — dan hanya bisa dilakukan ketika laki-laki tersebut mengobyektivikasi dan melontarkan hal ini secara publik dan tidak tahu akan konteks dan moralitas masyarakat di tempat tersebut, namun tentu untuk membereskan lawan jenis yang tidak bermoral bahkan cenderung melecehkan, aksi ini dapat dikatakan radikal namun bisa jadi alternatif dobrakan yang saya kira kreatif. Saya mengibaratkan bahwa aksi bertelanjang dada sendiri sama dengan para pekerja seks komersil (PSK) ataupun bintang film porno yang percaya diri bahwa menjadi PSK dan bintang film porno merupakan pilihan hidupnya sendiri — tanpa intervesi langsung dari pihak manapun diluar sana. Dimana setiap individu pada akhirnya menerima keabsurdan hidup dan memilih jalannya dengan pasti dan sebebas-bebasnya.

Kembali, apa yang dilakukan oleh para wanita di Danau Toba sudah merupakan praktik mendobrak stigma dari mainstream pemikiran mayarakat Indonesia; pula aksi ini saya kira cukup menarik perhatian dan tentunya juga merupakan aksi nirkekerasan. Wanita yang suka dianggap bahwa membuka dadanya dianggap tidak bermoral — namun justru point bahwa moral patriarkis yang ada di otak dan benak masyarakat Indonesia yang saya kira patut menjadi tujuan dari gerakan bertelanjang dada ini. Bahwa kesetaraan tidak hanya laki-laki saja yang bisa membuka dadanya dan bertelanjang ketika melakukan aksi demonstrasi, tetapi perempuan pun juga memiliki kesempatan untuk melakukan hal aksi yang sama.

“Sekali lagi, Panjang Umur Perjuangan!”

[1] Reza Aditya Ramadhan. Aksi Telanjang Ibu-Ibu Tolak Pembangunan Kawasan Wisata di Danau Toba. Accessed on https://today.line.me/id/pc/article/Aksi+Telanjang+Ibu+ibu+Tolak+Pembangunan+Kawasan+Wisata+Danau+Toba-X7M0w0.

[2] Fajar Januarta. Aksi Telanjang Dada Peringati Hari Wanita Internasional. Accessed on https://foto.tempo.co/read/70909/aksi-telanjang-dada-warnai-peringati-hari-wanita-internasional.

[3] Fajar Nugroho. Para Wanita Ini Nekat Telanjang Saat Demo Tolak Donald Trump. Accessed on https://www.merdeka.com/foto/dunia/700983/20160430140136-para-wanita-ini-nekat-telanjang-saat-demo-tolak-donald-trump-001-isn.html.

[4] Fajar Januarta. Aksi Telanjang Dada Untuk Menuntut Hak Perempuan. Accessed on https://foto.tempo.co/read/25523/aksi-telanjang-dada-untuk-tuntut-hak-hak-perempuan

[5] Samuel Febriyanto. Aksi Telanjang Dada 3 Wanita Cantik Kala Demo Versace. Accessed on https://www.tribunnews.com/internasional/2012/02/26/aksi-telanjang-dada-3-wanita-cantik-kala-demo-versace.

--

--